Sajak-sajak WS Rendra

PESAN PENCOPET PADA PACARNYA


Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu.
Tak’kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang melamarmu.

(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
Aku berjanji
di kamar mandi
tubuhku yang elok bersih kucuci.
O, abang, kekasihku
kutunggu kau di tikungan
berbaju renda
berkain biru).

Nasibmu sudah lumayan.
Dari babu jadi selir kepala jawatan.
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan.
masa depanku terang repot.
Sebagai copet nasibku untung-untungan.
Ini bukan ngesah.
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kaukandung.

(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
mentari nggeloyor muntah di laut
mabuk napas orang Jakarta.
O, angin.
O, abang.
Sarapku sudah gemetar
menanti lidahmu
‘njilati tubuhku)

Cintamu padaku tak pernah kusangsikan.
tapi cinta Cuma nomor dua.
nomor satu carilah keselamatan.
Hati kita mesti iklas
berjuang untuk masa depan anakmu.
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu.
Kuraslah hartanya.
Supaya hidupmu nanti sentosa.
Sebagai kepala jawatan lelaki normal
suka disogok dan suka korupsi.
Bila ia ganti kautipu
itu sudah jamaknya.
Maling menipu maling itu biasa.
Lagipula
di masyarakat maling kehormatan Cuma gincu.
Yang utama kelicinan.
nomor dua keberanian.
Nomor tiga Keuletan.
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta.
Inilah ilmu hidup masyarakat maling.
Jadi janganlah ragu-ragu.
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu.

(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore
Hari ini kamu mesti kulewatkan
kerna lelakiku telah tiba.
Malam ini
badut yang tolol bakal main acrobat
di dalam ranjangku).

Usahakan selalu menanjak kedudukanmu.
Usahakan kenal satu mentri
dan usahakan jadi selirnya.
Sambil jadi selir mentri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama.
Kalau ia menolak kaurangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan istrinya
itu berarti ia tak tahu diri.
Lalu depak saja dia.
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu akan menarik seorang mentri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas dan penuh keyakinan.
Kerna begitulah cermin seorang mentri.

(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
kenanganku melayang ke saat itu
di tengah asyik nonton pawai
kau meremas pantatku
demikianlah kita lalu berkenalan
ialah setelah kutendang kakimu.
Dan sekarang setiap sore
bagaikan pisang yang ranum
aku rindu tanganmu
untuk mengupasku)

Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti.
Siang malam jagalah ia.
Kemungkinan besar ia lelaku.
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang.
Jangan boleh menilai orang dari wataknya.
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan.
kawan bias baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya.
ia harus diganyang sampai sirna.
Inilah hakekat ilmu selamat.
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi.
Jangan boleh ia nanti jadi professor atau guru.
Itu celaka, uangnya tak ada.
Kalau bias ia nanti jadi polisi atau tentara
suapay tak usah beli beras
kerna dapat dari Negara.
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama.
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya – nah!
ini kombinasi sempurna.
Artinya ia berbakat masuk politik.
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen.
Atau bahkan jadi mentri.
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta

(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
Oplet-oplet memasang lampu.
Perempuan-perempuan memasang gincu
Dan, abang, pesankan padaku
di mana kita bakal ketemu).






BLUES UNTUK BONNIE


Kota Bostron lusuh dan layu
kerna angina santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam café itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh padang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.

Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.

Orang-orang berhenti bicara.
Dalam café tak ada suara.
Kecuali ingi menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.

Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.

Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srentak dilihat muka majikan café jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
Dan surga.
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya

Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.

Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereja-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua

Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hamper-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.

Menuruti adat pertunjukan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan duduk di kursi
Seperti guci retak
di toko tukang loak.
Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali bernyanyi.

Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana
setia tapi merana
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.

Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.
Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.




RICK DARI CORONA


(Di Queenz Plaza
di stasion trem bawah tanah
ada tulisan di satu temboknya:
“Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?”)


Ya.
Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?

- Akulah Betsy
Ini aku di sini.
Bestsy Wong dari Jamaica.
Kakek buyutku dari Hongkong.
Suamiku penjaga elevator
Pedro Gonzales dari Puertorico
suka mabuk dan suka berdusta.
Kalau ingin ketemu, telepon saja aku.
Pagi hari aku kerja di pabrik roti
Selasa dan Kamis sore
aku miliknya Mickey Ragolsky
si kakek Polandia
yang membayar sewa kamarku.
Cobalah telpon hari Rabu.

Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu.
O, ya, sebelum lupa:
dua puluh dollar ongkosnya.

Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
bagaikan ikan salmon

(Rick dari Corona
di perut kota New York
memandang kanan kiri
sambil minum jeruk soda)

Betsy.
Di mana engkau, Betsy?

- Ini, Betsy Hudson di sini.
aku merindukan alam hijau
tapi benci agrarian.
Aku percaya pada dongeng aneka ragam
Aku percaya pada benua Atlantis.
Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
lebih baik dari hidup di bumi.
Pada politik aku tak percaya.
Namaku Betsy.
Memang.
Tapi kita tak mungkin ketemu
Siang hari aku kerja jadi akuntan.
Malam hari aku suka nulis buku harian.
Untuk merias diri
memelihara rambut dan kuku
telah pula memakan waktu.
Namaku Betsy.
Cantik
Aku suka telanjang di depan kaca.
Aku benci lelaki.

(Dengan mobil sport dari Inggris
Rick dari Corona
mengitari kota New York
berkacamata hitam sekali.
MElanggar aturan lalu lintas
ia disetop polisi
sambil masih mimpi siang hari)

Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu Broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan New York
Dan selalu sesudah itu
aku diselimutinya
dengan selimut katun
yang ditenunnya sendiri
Betsy, di mana engkau, Betsy.

- Di sini, bodoh!
Kau selalu tak mendengarkan aku, Ricky!
Kau selalu menciptakan kekusutan.
Sepatu tak pernah kauletakkan pada raknya.
Selalu kau pakai dari yang kacau warnanya.
Berapa kali pula kau kuperingatkan
kalau tidur jangan mendengkur.
Itu barbar.
Dan Ricky!
Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan!

(New York mengangkang.
Keras dan angkuh.
Semen dan baja.
Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)

Rick dari Corona telah di sini
Ya. Ya.
Betsy, engkau di mana?
- Ricky, saying, aku di sini.
Ya. Ya.
+ Engkau hitam.
Engkau bukan Betsy.
Engkau macam Negro dari Harlem.
- Pegang pinggulku
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku Betsy. Ya. Ya.
+ Gadisku selalu menjawab dengan sabar
segala pertanyaanku yang bodoh dan sangsi.
- Aku Betsy kerna aku Negro.
Kerna aku Negro
aku adalah tanggung jawabmu.
Ya, namaku Betsy.
Telah kuputuskan namaku Betsy
+ Apyun. Apyun.
Aku hasratkan pengalaman mistis.
Aku ingin melukis tubuhmu telanjang.
sambil kuhisap mariyuana.
- Ricky, saying, engkau akan kuninabobokan.
Dan bagai bayi akan kau puja tetekku.
+ Dari Queens. Dari Brooklyn. Dan dari Manhattan….
- Ricky, saying, garudaku saying.
+ Sebab irama combo, sebab buaian saxophone…
- Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
mainkanlah aku

(Di Harlem, Manhattan, New York
di mana orang tinggal penuh sesak
di mana udara bau air kencing dan sampah
di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
para Negro menari watusi di tepi jalan
dan pada drajat ke seratus dua
terjadi perkelahian antara mereka).

Hallo. Hallo.
Di sini Rick dari Corona.
Dan Betsy juga di sini…
Hallo, Dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena rajasinga.

No comments:

Post a Comment