LAGU DALAM HUJAN
Merdunya dan merdunya
Suara hujan
Gempita pohon-pohonan
Menerima serakan
Sayap-sayap burung
Merdunya dan merdunya
Seakan busukan akar pohonan
Menggema dan segar kembali
Seakan busukan daungladiola
Menyanyi dalam langsai-langsai pelangi biru
Memintas-mintas cuaca
Merdunya dan merdunya
Nasib yang bergerak
Jiwa yang bertempur
Gempita bumi
Menerima hembusan
Sayap-sayap kata
Ya, seakan merdunya suara hujan
Yang telah menjadi kebiasaan alam
Bergerak atau bergolak dan bangkit
Berubah dan berpindah dalam pendaran warna-warni
Melintas dan melewat dalam dingin dan panas
Merdunya dan merdunya
Merdu yang tiada bosan-bosannya
Melulung dan tiada kembali
Seakan-akan memijar api
1970
AMSAL SEEKOR KUCING
Selalu tak dapat kulihat kau dengan jelas
Padahal aku tidak rabun dan kau tidak pula bercadar
Hanya setiap hal memang harus diwajarkan bagai semula:
Selera makan, gerak tangan, gaya percakapan, bayang-bayang kursi
Bahkan langkah-langkah kehidupan menuju mati
Biarlah kata-kataku ini dan apa yang dipercakapkan
bertemu bagai dua mulut yang lagi berciuman
Dan seperti seekor kucing yang mengintai mangsanya di dahan pohon
Menginginkan burung intaiannya bukan melulu kiasan
1975
LA CONDITION HUMAINE
Di dalam hutan nenek moyangku
Aku hanya sebatang pohon mangga
-- tidak berbuah tidak berdaun --
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh
Memang tak subur, nak!” sambil makan
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya
Dan kadang malam-malam
tanpa sepengetahuan istriku
aku pun mencuri dan makan buah-buahan
dari pohon anakku yang belum masak
1975
LARUT MALAM, HAMBURG MUSIM PANAS
Laut tidur. Langit basah
Seakan dalam kolam awan berenang
Pada siapakah menyanyi gerimis malam ini
Dan angin masih saja berembus, walau sendiri
Dan kita hampir jauh berjalan:
Kita tak tahu ke mana pulang malam ini
Atau barangkali hanya dua pasang sepatu kita
Bergegas dalam kabut, topiku mengeluh
Lalu jatuh
Atau kata-kata yang tak pernah
sebebas tubuh
Ketika terbujur cakrawala itu kembali
dan kita serasa sampai, kita lupa
Gerimis terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh
1974
WINTER, IOWA 1974
langit sisik yang serbuk, matahari yang rabun
menarilah dari rambutnya yang putih beribu kupu-kupu
menarilah dan angin yang bising di hutan dan gurun-gurun
menarilah, riak sungai susut malam-malam ke dasar lubukku
1974
RAMA-RAMA
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
meraba cahaya
terbanglah jangan ke bunga, tapi ke laut
menjelmalah kembang di karang
rama-rama, aku ingin rasamu yang hangat
di rambutmu jari-jari matahari yang dingin
kadang mengembuni mata, kadang pikiran
melimpahinya dengan salju dan hutan yang lebat
1974
DINI HARI MUSIM SEMI
Aku ingin bangun dini hari, melihat fajar putih
memecahkan kulit-kulit kerang yang tertutup --
Menjelang tidur kupahat sinar bulan yang letih itu
yang menyelinap dalam semak-semak salju terakhir
ninabobo yang menentramkan, kupahatkan padanya
sebelum matahari memasang kaca berkilauan
Tapi antara gelap dan terang, ada dan tiada
Waktu selalu melimpahi langit sepi dengan kabut dulu
lalu angin perlahan-lahan dan ribut memancarkan pagi
-- burung-burung hai ini, sedang musim dingin yang hanyut
masih abadi seperti hari kemarin yang mengiba
harus memakan beratus-ratus masa lampauku
BAYANG-BAYANG
Mungkin kau tak harus kabur, sela
bayang-bayangmu
yang menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu menjauh dan menghindar
dari terang lampu
Ia selalu mondar mandir
mencari-cari bentuk dan namanya
yang tak pernah ada
1974
DALAM GELAP
Dalam gelap bayang-bayang bertemu dengan jasadnya yang telah menunggu
di sebuah tempat
Mereka berbincang-bincang untuk mengalahkan tertang dan sepakat mengha-
dapi terang yang kurang baik perangainya
Karena itu dalam terang bayang-bayang selalu berobah-robah menggeser-geser
kan dirinya dan ruang untuk menipu terang
Dan jasad selalu siap melindungi bayang-bayangnya dari terang sambil mencip-
takan gelap dengan bayang-bayangnya dari sinar terang
1974
MAUT DAN WAKTU
Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi mengembara sampai tak ingat rumah
menyusuri gurun-gurun dan lembah ke luarmasuk ruang-ruang kosong jagad raya mencari suara
merdu Nabi Daud yang kusembunyikan sejak berabad-abad lamanya
Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu sejak hari pertama Qabi kusuruh membujukmu
memberi umpan lezat yang tak pernah menge-nyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi dan
ingin lagi sampai gelisah dari zaman ke zaman mencari-cari nyawa Habil yang kau kira fana
mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang
1974
AKU BERIKAN
Aku berikan seutas rambut padamu untuk kenangan
tapi kau ingin merampas seluruh rambutku dari kepala
Ini musim panas atau bahkan tengah musim panas
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat
Mengapa jejak selalu nyaring menjelang sampai
daun-daun kering risik di pohon ingin berdentuman
ke air selokan yang deras
langkahmu datang dan pergi antara ketokan jam yang berat
Aku berikan sepotong jariku padamu untuk kaubakar
tapi kau ingin merampas seluruh tanganku dari lengan
Ini musim atau akhir musim panas aku tak tahu
Burung-burung kejang di udara terik seakan penatku padamu
Maka kujadikan hari esokku rumah
Tapi tak sampai rasanya hari iniku untuk berjumpa
1974
Showing posts with label Puisi Penyair Lain. Show all posts
Showing posts with label Puisi Penyair Lain. Show all posts
Puisi-puisi Acep Zamzam Noor
Puisi-puisi Acep Zamzam Noor
KAU PUN TAHU
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi kerinduan
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi nyanyian
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi keindahan
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak lantang
Tak jelas maunya apa
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi persembahan
Aku sembahyang di atas comberan
Menjalani sisa hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang pernah kupuja
Seperti juga para pemimpin brengsek itu –
Semuanya tak bisa dipercaya
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga memuji dan mengutuk
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya selalu kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan
---
SEPOTONG SENJA
Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah
Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih
Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua
Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup terbakar dalam api
Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila
Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu
Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari
Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata
Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk
Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan
Di terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan
Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta
Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor
Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa
Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran
Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan
Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas
Kutempel sepanjang terowongan. Ternyata aku tidak pernah lupa
Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu
Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh
Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh
Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil
Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi
Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba
Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara
Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana
Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga
Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina
Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih
Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya
Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih
Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah
Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu
Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya
Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?
Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna
Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum
Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu
Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi
***
---
KETAPANG-GILIMANUK
Bermula dari ombak pasang
Yang menyediakan ruang
Bagi tubuhku
Ulakan air melahirkan kata-kata
Yang berloncatan seperti lidah api
Di paha-paha batu karang
Kata-kata bergerak dan meluap
Aku pun terdesak
Ke sudut sempit selangkanganmu
Yang gelap. Sebuah persetubuhan sunyi
Waktu yang terus menari dan menyanyi
Menciptakan ruang-ruang murni
Di balik ceruk ombak
Tubuh bugilku
Terapung
Di atas tubuhmu yang asin
Burung-burung dan deru angin selat
Menggoreskan jejak lain. Sebuah isyarat
Garis yang ditarik lurus
Dari kaki langit
Tempat cahaya menenggelamkan dirinya di air
Seperti seorang perenang
Aku pun menyelam dan mengembara
Dengan kata-kata liar tangkapanku
Sebuah kelahiran kembali
Yang perih
Kesunyian tiada tara
Perjalanan dari biru menuju jingga
Sebelum kata-kata saktiku akan tercipta
Dari derita
---
DI MALIOBORO
Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih
Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap
Kau sedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku
Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung
Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan
Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka
Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu
Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca
Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu
Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri
Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata
Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata
Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan
Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan
Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan
Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang
Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu
Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah
Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa
Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka
Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya
Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta
Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan
---
KEPADA SEORANG PENYANYI DANGDUT
Di tengah melambungnya harga-harga
Suaramu semakin merdu saja
Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja
Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja
Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja
Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja
Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Hargamu semakin melambung saja
KAU PUN TAHU
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi kerinduan
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi nyanyian
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi keindahan
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak lantang
Tak jelas maunya apa
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi persembahan
Aku sembahyang di atas comberan
Menjalani sisa hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang pernah kupuja
Seperti juga para pemimpin brengsek itu –
Semuanya tak bisa dipercaya
Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga memuji dan mengutuk
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya selalu kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan
---
SEPOTONG SENJA
Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah
Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih
Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua
Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup terbakar dalam api
Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila
Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu
Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari
Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata
Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk
Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan
Di terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan
Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta
Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor
Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa
Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran
Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan
Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas
Kutempel sepanjang terowongan. Ternyata aku tidak pernah lupa
Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu
Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh
Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh
Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil
Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi
Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba
Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara
Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana
Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga
Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina
Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih
Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya
Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih
Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah
Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu
Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya
Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?
Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna
Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum
Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu
Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi
***
---
KETAPANG-GILIMANUK
Bermula dari ombak pasang
Yang menyediakan ruang
Bagi tubuhku
Ulakan air melahirkan kata-kata
Yang berloncatan seperti lidah api
Di paha-paha batu karang
Kata-kata bergerak dan meluap
Aku pun terdesak
Ke sudut sempit selangkanganmu
Yang gelap. Sebuah persetubuhan sunyi
Waktu yang terus menari dan menyanyi
Menciptakan ruang-ruang murni
Di balik ceruk ombak
Tubuh bugilku
Terapung
Di atas tubuhmu yang asin
Burung-burung dan deru angin selat
Menggoreskan jejak lain. Sebuah isyarat
Garis yang ditarik lurus
Dari kaki langit
Tempat cahaya menenggelamkan dirinya di air
Seperti seorang perenang
Aku pun menyelam dan mengembara
Dengan kata-kata liar tangkapanku
Sebuah kelahiran kembali
Yang perih
Kesunyian tiada tara
Perjalanan dari biru menuju jingga
Sebelum kata-kata saktiku akan tercipta
Dari derita
---
DI MALIOBORO
Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih
Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap
Kau sedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku
Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung
Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan
Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka
Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu
Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca
Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu
Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri
Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata
Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata
Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan
Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan
Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan
Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang
Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu
Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah
Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa
Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka
Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya
Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta
Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan
---
KEPADA SEORANG PENYANYI DANGDUT
Di tengah melambungnya harga-harga
Suaramu semakin merdu saja
Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja
Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja
Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja
Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja
Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Hargamu semakin melambung saja
Puisi-puisi Ahda Imran
Puisi-puisi Ahda Imran
SANTOLO
1
Jauh di bawah batu-batu karang
mungkin suaramulah yang bergaung. Naik ke permukaan
air. Menguap dan membuat burung-burung oleng. Pasir
menghembus dan menyerbu kakiku, menyerupai lapisan
kabut. Dalam pikiranku ada selalu yang tak bisa kuselamatkan
yaitu, melupakan suaramu. Suara yang terus membuatku pergi
dari setiap tempat sebelum tahu bahwa tempat itu
memiliki sebuah nama
2
Di pulau kecil, di mulut sebuah tanjung
kubiarkan ingatanku terurai. Bayanganmu menempel
di telapak tanganku, di pepohonan bakau, di lengang
angin pada gerak pelan sebuah jembatan gantung. Ombak
memasuki tanjung, menjauhi laut, mencari-cari namamu
di antara tebing-tebing karang. Sambil menyelamatkan
pecahan-pecahan tubuhmu, kujauhi gelagat hujan
yang datang dari arah dermaga. Angin yang kasar
menderu di sekeliling pulau
3
Di pesisir muara tubuhku menjadi malam—
dengan gelap yang lebih sempurna dari kulit tubuhmu
sepasang matamu berdegup dalam pikiranku, sedang suaraku
terbenam dalam pasir. Kuingat kembali sebuah kota
dan gedung-gedungnya yang kelabu. Di situ orang-orang
menyebut namamu seolah menyebut sebuah nama dari peristiwa
masa lalu yang kurang menyenangkan. Di sini dan kini, setiap kali
kusebut namamu mulutku dipenuhi cahaya panas
4
Baiklah. Jauh menyusur pantai
aku sembahyangkan tubuhmu. Kusempurnakan
kewajibanku pada luka dan seluruh kesedihan sambil menari
bersama elang-elang laut. Membuat putaran di laut lengang
di sepanjang garis air dan langit. Dalam cuaca samar
seperti desis ular yang terusir, kudengar suaramu
beranjak dari pesisir tanjung
5
Jauh di bawah batu-batu karang
aku menyimpan pecahan tubuhmu...
2010
---
High Lander *)
Kujelaskan padamu, segala sesuatunya
telah kupahami sebagai puisi. Juga bajumu
yang kumal dan sepatumu yang mengelupak
ratusan tahun adalah kesendirianku menghuni
rumah ini. Membersihkan daun-daun pintu,
mengganti alas meja, atau memasang
tempat-tempat lilin. Apabila cuaca baik,
aku berjalan-jalan ke arah sebuah kota
bercakap-cakap dengan anggota parlemen
yang selalu menggaruk-garuk lidahnya,
menyapa anak-anak yang bermain
dengan bonekanya yang buntung.
Tengah malam, ikan-ikan
dalam sungai menghirup nafasku
dari sebuah lubuk yang paling rahasia
tengah hari kau datang
membawa keletihan
dan kecemasan
Kujelaskan padamu, aku hidup mewarisi
Kaum Abadi, berada dalam seluruhnya, juga
ketika segala sesuatunya menjadi letusan-letusan,
bendera-bendera, pidato para pemimpin
yang membosankan, sedu-sedan kekasih di pantai
nan jauh. Bukan. Ini bukan awal musim hujan
penghabisan. Dengan senang hati aku akan terus menulis
surat padamu, juga puisi. Menangis diam-diam,
tidur di sebuah perahu, lalu terbangun
dan memulai kembali mimpi buruk ini
1998
*) Sebuah legenda Skotlandia yang pernah menjadi serial televisi dengan bintang Lorenzo Lamaz, juga pernah diangkat ke layar film dan dibintangi oleh Sean Conery
---
Pada Suatu Hari
Hari ini terlalu pagi
untuk sebuah kesedihan. Mereka,
para pembohong dulu, kembali datang
dari arah hutan-hutan malam
aku memandang dan melupakan
pepohonan memasang daun-daunnya,
seperti perempuan menjemur
pakaian dalamnya
Kutinggalkan semua
di atas meja. Kuburan massal
yang digali, skandal anggota parlemen,
ulang-tahun presiden, tukang becak
yang menjual anaknya, kapal-kapal
asing yang membawa beras dan gula
Tak ada lagi yang kupahami
kesedihan atau juga Tuhan, kecuali pertanyaanku
sendiri. Kedua kakiku bernafas ke dalam batu,
menyatu bersama mata air. Kedua tanganku
mengembang, menyentuh lapisan paling lembut
dari langit dan pasir
Aku hidup dalam kebahagiaan
yang aneh. Tak ada siapapun yang datang
padaku untuk berjanji, sebab aku telah
membunuhnya tadi malam
Hari ini terlalu pagi
untuk sebuah kesedihan. Tak ada siapa pun
yang mesti kudatangi, sebab seluruh alamat
telah menjadi kutukan. Tak ada lagi
yang harus kupahami, kecuali pertanyaan
sendiri,
mengapa aku begitu berbahagia
2003
---
Di Delta Sungai
Di delta sungai, pohon-pohon tumbuh
dalam air. Di situ ikan-ikan menyimpan telurnya,
sebelum kembali berenang ke hulu. Dari arah
laut entah siapa menahan gerak angin. Daun
dan ranting lepas, menempel di udara, seperti
motif di kain selendang ibu
Kutemukan juga bagian lain di luar apa
yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi, sesuatu
yang tak menyerupai apapun. Orang-orang
menangis di rambutku, sedang kedua kakiku
lepas dan hanyut
Air dan angin menghilang
tanah dan langit begitu lengang
Di delta sungai, gerimis dan pohon
membuat upacara. Ikan-ikan menyerahkan
telurnya sebagai sesaji. Pulau-pulau terurai. Laut
membuka pintu angin, menghembuskan sesuatu
yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi
burung-burung melepas sehelai rambutku
sehelai,
sehelai,
dan sehelai lagi
sedang jemari tanganku
terus berjatuhan
2001-2006
---
Perempuan yang Menyulam di Tepi Sungai
Kusulam sungai dengan tangan yang sakit,
dengan bergelas-gelas kopi, dengan seluruh ingatan
buruk yang bergelantungan di rambutku. Entah
dari hulu yang mana sungai ini datang, membelah
kota, seperti juga entah sejak kapan aku
berada dalam kamar ini
Buih dan arus air terus menyerbu tanganku
Di antara gulungan benang, rokokku berulangkali
padam. Jauh ke pusat malam tubuhku semakin kurus,
ginjalku kerap terasa sakit. Tapi sebaiknya tak ada
yang harus kupikirkan. Juga orang-orang yang saling
berbisik, mengancamku dengan seekor anjing
dalam kepalanya
Tanganku terus menyulam,
bergerak di antara air dan ikan-ikan,
menjadi rakit dan jembatan
Kunyalakan pemanas air. Di luar
suara hujan seperti derap sepasukan berkuda
seseorang melintasi kamar tergesa, lalu membanting
pintu. Seorang lelaki mengeluh di seberang sungai,
di depan sebuah lukisan. Tubuhnya terikat
di tiang kayu yang terbakar, kulitnya mengelupas,
tulang-tulangnya merah
Kusulam sungai dengan gambar-gambar
tubuhku sendiri, dengan bergelas-gelas kopi,
dengan perempuan lain yang menatapku dari dalam
cermin. Ah! Menjadi perempuan adalah menyulam
baju hangat bagi para lelaki. Tapi sebaiknya tak ada
yang harus kupikirkan
Dalam sulamanku lelaki hanya sepasukan
berkuda tanpa kepala
Kusulam sungai dengan bergulung-gulung
benang yang mengurung tubuhku. Di luar hujan
melewati jembatan. Kopiku habis dan rokokku
padam lagi, sedang handphoneku jatuh ke dalam
air. Sungai terus mengalir ke dalam sulamanku,
menjadi laut dan tubuhku. Suatu hari,
ombak dan gelombangnya
akan sampai padamu!
2006
SANTOLO
1
Jauh di bawah batu-batu karang
mungkin suaramulah yang bergaung. Naik ke permukaan
air. Menguap dan membuat burung-burung oleng. Pasir
menghembus dan menyerbu kakiku, menyerupai lapisan
kabut. Dalam pikiranku ada selalu yang tak bisa kuselamatkan
yaitu, melupakan suaramu. Suara yang terus membuatku pergi
dari setiap tempat sebelum tahu bahwa tempat itu
memiliki sebuah nama
2
Di pulau kecil, di mulut sebuah tanjung
kubiarkan ingatanku terurai. Bayanganmu menempel
di telapak tanganku, di pepohonan bakau, di lengang
angin pada gerak pelan sebuah jembatan gantung. Ombak
memasuki tanjung, menjauhi laut, mencari-cari namamu
di antara tebing-tebing karang. Sambil menyelamatkan
pecahan-pecahan tubuhmu, kujauhi gelagat hujan
yang datang dari arah dermaga. Angin yang kasar
menderu di sekeliling pulau
3
Di pesisir muara tubuhku menjadi malam—
dengan gelap yang lebih sempurna dari kulit tubuhmu
sepasang matamu berdegup dalam pikiranku, sedang suaraku
terbenam dalam pasir. Kuingat kembali sebuah kota
dan gedung-gedungnya yang kelabu. Di situ orang-orang
menyebut namamu seolah menyebut sebuah nama dari peristiwa
masa lalu yang kurang menyenangkan. Di sini dan kini, setiap kali
kusebut namamu mulutku dipenuhi cahaya panas
4
Baiklah. Jauh menyusur pantai
aku sembahyangkan tubuhmu. Kusempurnakan
kewajibanku pada luka dan seluruh kesedihan sambil menari
bersama elang-elang laut. Membuat putaran di laut lengang
di sepanjang garis air dan langit. Dalam cuaca samar
seperti desis ular yang terusir, kudengar suaramu
beranjak dari pesisir tanjung
5
Jauh di bawah batu-batu karang
aku menyimpan pecahan tubuhmu...
2010
---
High Lander *)
Kujelaskan padamu, segala sesuatunya
telah kupahami sebagai puisi. Juga bajumu
yang kumal dan sepatumu yang mengelupak
ratusan tahun adalah kesendirianku menghuni
rumah ini. Membersihkan daun-daun pintu,
mengganti alas meja, atau memasang
tempat-tempat lilin. Apabila cuaca baik,
aku berjalan-jalan ke arah sebuah kota
bercakap-cakap dengan anggota parlemen
yang selalu menggaruk-garuk lidahnya,
menyapa anak-anak yang bermain
dengan bonekanya yang buntung.
Tengah malam, ikan-ikan
dalam sungai menghirup nafasku
dari sebuah lubuk yang paling rahasia
tengah hari kau datang
membawa keletihan
dan kecemasan
Kujelaskan padamu, aku hidup mewarisi
Kaum Abadi, berada dalam seluruhnya, juga
ketika segala sesuatunya menjadi letusan-letusan,
bendera-bendera, pidato para pemimpin
yang membosankan, sedu-sedan kekasih di pantai
nan jauh. Bukan. Ini bukan awal musim hujan
penghabisan. Dengan senang hati aku akan terus menulis
surat padamu, juga puisi. Menangis diam-diam,
tidur di sebuah perahu, lalu terbangun
dan memulai kembali mimpi buruk ini
1998
*) Sebuah legenda Skotlandia yang pernah menjadi serial televisi dengan bintang Lorenzo Lamaz, juga pernah diangkat ke layar film dan dibintangi oleh Sean Conery
---
Pada Suatu Hari
Hari ini terlalu pagi
untuk sebuah kesedihan. Mereka,
para pembohong dulu, kembali datang
dari arah hutan-hutan malam
aku memandang dan melupakan
pepohonan memasang daun-daunnya,
seperti perempuan menjemur
pakaian dalamnya
Kutinggalkan semua
di atas meja. Kuburan massal
yang digali, skandal anggota parlemen,
ulang-tahun presiden, tukang becak
yang menjual anaknya, kapal-kapal
asing yang membawa beras dan gula
Tak ada lagi yang kupahami
kesedihan atau juga Tuhan, kecuali pertanyaanku
sendiri. Kedua kakiku bernafas ke dalam batu,
menyatu bersama mata air. Kedua tanganku
mengembang, menyentuh lapisan paling lembut
dari langit dan pasir
Aku hidup dalam kebahagiaan
yang aneh. Tak ada siapapun yang datang
padaku untuk berjanji, sebab aku telah
membunuhnya tadi malam
Hari ini terlalu pagi
untuk sebuah kesedihan. Tak ada siapa pun
yang mesti kudatangi, sebab seluruh alamat
telah menjadi kutukan. Tak ada lagi
yang harus kupahami, kecuali pertanyaan
sendiri,
mengapa aku begitu berbahagia
2003
---
Di Delta Sungai
Di delta sungai, pohon-pohon tumbuh
dalam air. Di situ ikan-ikan menyimpan telurnya,
sebelum kembali berenang ke hulu. Dari arah
laut entah siapa menahan gerak angin. Daun
dan ranting lepas, menempel di udara, seperti
motif di kain selendang ibu
Kutemukan juga bagian lain di luar apa
yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi, sesuatu
yang tak menyerupai apapun. Orang-orang
menangis di rambutku, sedang kedua kakiku
lepas dan hanyut
Air dan angin menghilang
tanah dan langit begitu lengang
Di delta sungai, gerimis dan pohon
membuat upacara. Ikan-ikan menyerahkan
telurnya sebagai sesaji. Pulau-pulau terurai. Laut
membuka pintu angin, menghembuskan sesuatu
yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi
burung-burung melepas sehelai rambutku
sehelai,
sehelai,
dan sehelai lagi
sedang jemari tanganku
terus berjatuhan
2001-2006
---
Perempuan yang Menyulam di Tepi Sungai
Kusulam sungai dengan tangan yang sakit,
dengan bergelas-gelas kopi, dengan seluruh ingatan
buruk yang bergelantungan di rambutku. Entah
dari hulu yang mana sungai ini datang, membelah
kota, seperti juga entah sejak kapan aku
berada dalam kamar ini
Buih dan arus air terus menyerbu tanganku
Di antara gulungan benang, rokokku berulangkali
padam. Jauh ke pusat malam tubuhku semakin kurus,
ginjalku kerap terasa sakit. Tapi sebaiknya tak ada
yang harus kupikirkan. Juga orang-orang yang saling
berbisik, mengancamku dengan seekor anjing
dalam kepalanya
Tanganku terus menyulam,
bergerak di antara air dan ikan-ikan,
menjadi rakit dan jembatan
Kunyalakan pemanas air. Di luar
suara hujan seperti derap sepasukan berkuda
seseorang melintasi kamar tergesa, lalu membanting
pintu. Seorang lelaki mengeluh di seberang sungai,
di depan sebuah lukisan. Tubuhnya terikat
di tiang kayu yang terbakar, kulitnya mengelupas,
tulang-tulangnya merah
Kusulam sungai dengan gambar-gambar
tubuhku sendiri, dengan bergelas-gelas kopi,
dengan perempuan lain yang menatapku dari dalam
cermin. Ah! Menjadi perempuan adalah menyulam
baju hangat bagi para lelaki. Tapi sebaiknya tak ada
yang harus kupikirkan
Dalam sulamanku lelaki hanya sepasukan
berkuda tanpa kepala
Kusulam sungai dengan bergulung-gulung
benang yang mengurung tubuhku. Di luar hujan
melewati jembatan. Kopiku habis dan rokokku
padam lagi, sedang handphoneku jatuh ke dalam
air. Sungai terus mengalir ke dalam sulamanku,
menjadi laut dan tubuhku. Suatu hari,
ombak dan gelombangnya
akan sampai padamu!
2006
Refrein di Sudut Dam
Refrein di Sudut Dam
sajak D. Zamawi Imron
Amsterdam bagiku
memang sebuah terminal
dengan detik-detik yang terasa mahal
Masa silam dan masa depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik gagal
Matahari yang juga mata waktu
mendesakku menjadi kaca manggala
untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan sejenis debu
Menyanyi buku-buku, kertas arsip
hendak turut memutar tasbihku
Jangan dulu! Di sini Amsterdam
Akan kukubur dendam sejarah
Sia-sia memberhalakan derita
Ibu dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas tabir saja
Segenap keasingan akan lebur
dengan menyemai cintake hati salju
Terbayang pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan sembunyi
Olle ollang
darahku makin bergelombang.
sajak D. Zamawi Imron
Amsterdam bagiku
memang sebuah terminal
dengan detik-detik yang terasa mahal
Masa silam dan masa depan
di sini bergumpal
menyesali titik-titik gagal
Matahari yang juga mata waktu
mendesakku menjadi kaca manggala
untuk menerjemahkan cahayanya
menjadi api dan nyala
Di udara menari kapak, senapan, sapu
biola, gendang dan sejenis debu
Menyanyi buku-buku, kertas arsip
hendak turut memutar tasbihku
Jangan dulu! Di sini Amsterdam
Akan kukubur dendam sejarah
Sia-sia memberhalakan derita
Ibu dan kampungku selaksa kilometer jauhnya
tapi terasa berbatas tabir saja
Segenap keasingan akan lebur
dengan menyemai cintake hati salju
Terbayang pohon pinang dekat sumur dulu tempatku mandi
menyuruhku jangan sembunyi
Olle ollang
darahku makin bergelombang.
Bulan Tertusuk Lalang
Bulan Tertusuk Lalang
sajak D. Zamawi Imron
bulan rebah
angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
dimana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang
angin termangu di pohon asam
bulan tetusuk lalang
tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian
sajak D. Zamawi Imron
bulan rebah
angin lelah di atas kandang
cicit-cicit kelelawar
menghimbau di ubun bukit
dimana kelak kujemput anak cucuku
menuntun sapi berpasang-pasang
angin termangu di pohon asam
bulan tetusuk lalang
tapi malam yang penuh belas kasihan
menerima semesta bayang-bayang
dengan mesra menidurkannya
dalam ranjang-ranjang nyanyian
Sajak-sajak WS Rendra
PESAN PENCOPET PADA PACARNYA
Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu.
Tak’kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang melamarmu.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
Aku berjanji
di kamar mandi
tubuhku yang elok bersih kucuci.
O, abang, kekasihku
kutunggu kau di tikungan
berbaju renda
berkain biru).
Nasibmu sudah lumayan.
Dari babu jadi selir kepala jawatan.
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan.
masa depanku terang repot.
Sebagai copet nasibku untung-untungan.
Ini bukan ngesah.
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kaukandung.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
mentari nggeloyor muntah di laut
mabuk napas orang Jakarta.
O, angin.
O, abang.
Sarapku sudah gemetar
menanti lidahmu
‘njilati tubuhku)
Cintamu padaku tak pernah kusangsikan.
tapi cinta Cuma nomor dua.
nomor satu carilah keselamatan.
Hati kita mesti iklas
berjuang untuk masa depan anakmu.
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu.
Kuraslah hartanya.
Supaya hidupmu nanti sentosa.
Sebagai kepala jawatan lelaki normal
suka disogok dan suka korupsi.
Bila ia ganti kautipu
itu sudah jamaknya.
Maling menipu maling itu biasa.
Lagipula
di masyarakat maling kehormatan Cuma gincu.
Yang utama kelicinan.
nomor dua keberanian.
Nomor tiga Keuletan.
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta.
Inilah ilmu hidup masyarakat maling.
Jadi janganlah ragu-ragu.
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore
Hari ini kamu mesti kulewatkan
kerna lelakiku telah tiba.
Malam ini
badut yang tolol bakal main acrobat
di dalam ranjangku).
Usahakan selalu menanjak kedudukanmu.
Usahakan kenal satu mentri
dan usahakan jadi selirnya.
Sambil jadi selir mentri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama.
Kalau ia menolak kaurangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan istrinya
itu berarti ia tak tahu diri.
Lalu depak saja dia.
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu akan menarik seorang mentri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas dan penuh keyakinan.
Kerna begitulah cermin seorang mentri.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
kenanganku melayang ke saat itu
di tengah asyik nonton pawai
kau meremas pantatku
demikianlah kita lalu berkenalan
ialah setelah kutendang kakimu.
Dan sekarang setiap sore
bagaikan pisang yang ranum
aku rindu tanganmu
untuk mengupasku)
Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti.
Siang malam jagalah ia.
Kemungkinan besar ia lelaku.
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang.
Jangan boleh menilai orang dari wataknya.
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan.
kawan bias baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya.
ia harus diganyang sampai sirna.
Inilah hakekat ilmu selamat.
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi.
Jangan boleh ia nanti jadi professor atau guru.
Itu celaka, uangnya tak ada.
Kalau bias ia nanti jadi polisi atau tentara
suapay tak usah beli beras
kerna dapat dari Negara.
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama.
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya – nah!
ini kombinasi sempurna.
Artinya ia berbakat masuk politik.
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen.
Atau bahkan jadi mentri.
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
Oplet-oplet memasang lampu.
Perempuan-perempuan memasang gincu
Dan, abang, pesankan padaku
di mana kita bakal ketemu).
BLUES UNTUK BONNIE
Kota Bostron lusuh dan layu
kerna angina santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam café itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh padang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Orang-orang berhenti bicara.
Dalam café tak ada suara.
Kecuali ingi menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.
Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.
Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srentak dilihat muka majikan café jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
Dan surga.
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya
Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.
Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereja-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua
Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hamper-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.
Menuruti adat pertunjukan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan duduk di kursi
Seperti guci retak
di toko tukang loak.
Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali bernyanyi.
Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana
setia tapi merana
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.
Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.
Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.
RICK DARI CORONA
(Di Queenz Plaza
di stasion trem bawah tanah
ada tulisan di satu temboknya:
“Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?”)
Ya.
Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?
- Akulah Betsy
Ini aku di sini.
Bestsy Wong dari Jamaica.
Kakek buyutku dari Hongkong.
Suamiku penjaga elevator
Pedro Gonzales dari Puertorico
suka mabuk dan suka berdusta.
Kalau ingin ketemu, telepon saja aku.
Pagi hari aku kerja di pabrik roti
Selasa dan Kamis sore
aku miliknya Mickey Ragolsky
si kakek Polandia
yang membayar sewa kamarku.
Cobalah telpon hari Rabu.
Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu.
O, ya, sebelum lupa:
dua puluh dollar ongkosnya.
Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
bagaikan ikan salmon
(Rick dari Corona
di perut kota New York
memandang kanan kiri
sambil minum jeruk soda)
Betsy.
Di mana engkau, Betsy?
- Ini, Betsy Hudson di sini.
aku merindukan alam hijau
tapi benci agrarian.
Aku percaya pada dongeng aneka ragam
Aku percaya pada benua Atlantis.
Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
lebih baik dari hidup di bumi.
Pada politik aku tak percaya.
Namaku Betsy.
Memang.
Tapi kita tak mungkin ketemu
Siang hari aku kerja jadi akuntan.
Malam hari aku suka nulis buku harian.
Untuk merias diri
memelihara rambut dan kuku
telah pula memakan waktu.
Namaku Betsy.
Cantik
Aku suka telanjang di depan kaca.
Aku benci lelaki.
(Dengan mobil sport dari Inggris
Rick dari Corona
mengitari kota New York
berkacamata hitam sekali.
MElanggar aturan lalu lintas
ia disetop polisi
sambil masih mimpi siang hari)
Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu Broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan New York
Dan selalu sesudah itu
aku diselimutinya
dengan selimut katun
yang ditenunnya sendiri
Betsy, di mana engkau, Betsy.
- Di sini, bodoh!
Kau selalu tak mendengarkan aku, Ricky!
Kau selalu menciptakan kekusutan.
Sepatu tak pernah kauletakkan pada raknya.
Selalu kau pakai dari yang kacau warnanya.
Berapa kali pula kau kuperingatkan
kalau tidur jangan mendengkur.
Itu barbar.
Dan Ricky!
Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan!
(New York mengangkang.
Keras dan angkuh.
Semen dan baja.
Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)
Rick dari Corona telah di sini
Ya. Ya.
Betsy, engkau di mana?
- Ricky, saying, aku di sini.
Ya. Ya.
+ Engkau hitam.
Engkau bukan Betsy.
Engkau macam Negro dari Harlem.
- Pegang pinggulku
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku Betsy. Ya. Ya.
+ Gadisku selalu menjawab dengan sabar
segala pertanyaanku yang bodoh dan sangsi.
- Aku Betsy kerna aku Negro.
Kerna aku Negro
aku adalah tanggung jawabmu.
Ya, namaku Betsy.
Telah kuputuskan namaku Betsy
+ Apyun. Apyun.
Aku hasratkan pengalaman mistis.
Aku ingin melukis tubuhmu telanjang.
sambil kuhisap mariyuana.
- Ricky, saying, engkau akan kuninabobokan.
Dan bagai bayi akan kau puja tetekku.
+ Dari Queens. Dari Brooklyn. Dan dari Manhattan….
- Ricky, saying, garudaku saying.
+ Sebab irama combo, sebab buaian saxophone…
- Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
mainkanlah aku
(Di Harlem, Manhattan, New York
di mana orang tinggal penuh sesak
di mana udara bau air kencing dan sampah
di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
para Negro menari watusi di tepi jalan
dan pada drajat ke seratus dua
terjadi perkelahian antara mereka).
Hallo. Hallo.
Di sini Rick dari Corona.
Dan Betsy juga di sini…
Hallo, Dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena rajasinga.
Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu.
Tak’kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang melamarmu.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
Aku berjanji
di kamar mandi
tubuhku yang elok bersih kucuci.
O, abang, kekasihku
kutunggu kau di tikungan
berbaju renda
berkain biru).
Nasibmu sudah lumayan.
Dari babu jadi selir kepala jawatan.
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan.
masa depanku terang repot.
Sebagai copet nasibku untung-untungan.
Ini bukan ngesah.
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kaukandung.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
mentari nggeloyor muntah di laut
mabuk napas orang Jakarta.
O, angin.
O, abang.
Sarapku sudah gemetar
menanti lidahmu
‘njilati tubuhku)
Cintamu padaku tak pernah kusangsikan.
tapi cinta Cuma nomor dua.
nomor satu carilah keselamatan.
Hati kita mesti iklas
berjuang untuk masa depan anakmu.
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu.
Kuraslah hartanya.
Supaya hidupmu nanti sentosa.
Sebagai kepala jawatan lelaki normal
suka disogok dan suka korupsi.
Bila ia ganti kautipu
itu sudah jamaknya.
Maling menipu maling itu biasa.
Lagipula
di masyarakat maling kehormatan Cuma gincu.
Yang utama kelicinan.
nomor dua keberanian.
Nomor tiga Keuletan.
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta.
Inilah ilmu hidup masyarakat maling.
Jadi janganlah ragu-ragu.
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore
Hari ini kamu mesti kulewatkan
kerna lelakiku telah tiba.
Malam ini
badut yang tolol bakal main acrobat
di dalam ranjangku).
Usahakan selalu menanjak kedudukanmu.
Usahakan kenal satu mentri
dan usahakan jadi selirnya.
Sambil jadi selir mentri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama.
Kalau ia menolak kaurangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan istrinya
itu berarti ia tak tahu diri.
Lalu depak saja dia.
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu akan menarik seorang mentri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas dan penuh keyakinan.
Kerna begitulah cermin seorang mentri.
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
kenanganku melayang ke saat itu
di tengah asyik nonton pawai
kau meremas pantatku
demikianlah kita lalu berkenalan
ialah setelah kutendang kakimu.
Dan sekarang setiap sore
bagaikan pisang yang ranum
aku rindu tanganmu
untuk mengupasku)
Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti.
Siang malam jagalah ia.
Kemungkinan besar ia lelaku.
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang.
Jangan boleh menilai orang dari wataknya.
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan.
kawan bias baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya.
ia harus diganyang sampai sirna.
Inilah hakekat ilmu selamat.
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi.
Jangan boleh ia nanti jadi professor atau guru.
Itu celaka, uangnya tak ada.
Kalau bias ia nanti jadi polisi atau tentara
suapay tak usah beli beras
kerna dapat dari Negara.
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama.
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya – nah!
ini kombinasi sempurna.
Artinya ia berbakat masuk politik.
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen.
Atau bahkan jadi mentri.
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta
(Lelawa terbang berkejaran
tandanya hari jadi sore.
Oplet-oplet memasang lampu.
Perempuan-perempuan memasang gincu
Dan, abang, pesankan padaku
di mana kita bakal ketemu).
BLUES UNTUK BONNIE
Kota Bostron lusuh dan layu
kerna angina santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
Di dalam café itu
seorang penyanyi Negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh padang laki dan wanita
berdusta dan bercintaan di dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu,
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Ia bernyanyi.
Suaranya dalam.
Lagu dan kata ia kawinkan
Lagu beranak seratus makna.
Georgia. Georgia yang jauh.
Di sana gubug-gubug kaum Negro.
Atap-atap yang bocor.
Cacing tanah dan pellagra
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Orang-orang berhenti bicara.
Dalam café tak ada suara.
Kecuali ingi menggetarkan kaca jendela.
Georgia.
Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi.
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya.
Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorilla.
Gorilla tua yang bongkok
meraung-raung.
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya.
Georgia.
Tak ada lagi tamu baru.
Udara di luar jekut.
Anginnya tambah santer.
Dan di hotel
menunggu ranjang yang dingin.
Srentak dilihat muka majikan café jadi kecut
lantaran malam yang bangkrut
Negro itu menengadah.
Lehernya tegang.
Matanya kering dan merah
menatap ke surga.
Dan surga.
melemparkan sebuah jala
yang menyergap tubuhnya
Bagai ikan hitam
ia menggelepar dalam jala
Jumpalitan
dan sia-sia.
Marah
terhina
dan sia-sia.
Angin bertalu-talu di alun-alun Boston.
Bersuit-suit di menara gereja-gereja.
Sehingga malam koyak moyak.
Si Negro menghentakkan kakinya
Menyanyikan kutuk dan serapah.
Giginya putih berkilatan
meringis dalam dendam.
Bagai batu lumutan
wajahnya kotor, basah dan tua
Maka waktu bagaikan air bah
melanda sukmanya yang lelah.
Sedang di tengah-tengah itu semua
ia rasakan sentakan yang hebat
pada kakinya.
Kaget
hamper-hampir tak percaya
ia merasa
encok yang pertama
menyerang lututnya.
Menuruti adat pertunjukan
dengan kalem ia menahan kaget.
Pelan-pelan duduk di kursi
Seperti guci retak
di toko tukang loak.
Baru setelah menarik napas panjang
ia kembali bernyanyi.
Georgia.
Georgia yang jauh disebut dalam nyanyinya.
Istrinya masih di sana
setia tapi merana
Anak-anak Negro bermain di selokan
tak krasan sekolah.
Yang tua-tua jadi pemabuk dan pembual
banyak hutangnya.
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
kerna di dunia mereka tak berdaya.
Georgia.
Lumpur yang lekat di sepatu.
Gubug-gubug yang kurang jendela.
Duka dan dunia
sama-sama telah tua
Sorga dan neraka
keduanya usang pula.
Dan Georgia?
Ya, Tuhan
Setelah begitu jauh melarikan diri,
masih juga Georgia menguntitnya.
RICK DARI CORONA
(Di Queenz Plaza
di stasion trem bawah tanah
ada tulisan di satu temboknya:
“Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?”)
Ya.
Rick dari Corona telah di sini.
Di mana engkau, Betsy?
- Akulah Betsy
Ini aku di sini.
Bestsy Wong dari Jamaica.
Kakek buyutku dari Hongkong.
Suamiku penjaga elevator
Pedro Gonzales dari Puertorico
suka mabuk dan suka berdusta.
Kalau ingin ketemu, telepon saja aku.
Pagi hari aku kerja di pabrik roti
Selasa dan Kamis sore
aku miliknya Mickey Ragolsky
si kakek Polandia
yang membayar sewa kamarku.
Cobalah telpon hari Rabu.
Jangan kuatirkan suamiku.
Ia akan pura-pura tak tahu.
O, ya, sebelum lupa:
dua puluh dollar ongkosnya.
Betsyku bersih dan putih sekali
lunak dan halus bagaikan karet busa.
Rambutnya mewah tergerai
bagai berkas benang-benang rayon warna emas.
Dan kakinya sempurna.
Singsat dan licin
bagaikan ikan salmon
(Rick dari Corona
di perut kota New York
memandang kanan kiri
sambil minum jeruk soda)
Betsy.
Di mana engkau, Betsy?
- Ini, Betsy Hudson di sini.
aku merindukan alam hijau
tapi benci agrarian.
Aku percaya pada dongeng aneka ragam
Aku percaya pada benua Atlantis.
Dan juga percaya bahwa hidup di bulan
lebih baik dari hidup di bumi.
Pada politik aku tak percaya.
Namaku Betsy.
Memang.
Tapi kita tak mungkin ketemu
Siang hari aku kerja jadi akuntan.
Malam hari aku suka nulis buku harian.
Untuk merias diri
memelihara rambut dan kuku
telah pula memakan waktu.
Namaku Betsy.
Cantik
Aku suka telanjang di depan kaca.
Aku benci lelaki.
(Dengan mobil sport dari Inggris
Rick dari Corona
mengitari kota New York
berkacamata hitam sekali.
MElanggar aturan lalu lintas
ia disetop polisi
sambil masih mimpi siang hari)
Betsy gemerlapan bagai lampu-lampu Broadway.
Betsy terbang dengan indah.
Bau minyak wanginya menidurkan New York
Dan selalu sesudah itu
aku diselimutinya
dengan selimut katun
yang ditenunnya sendiri
Betsy, di mana engkau, Betsy.
- Di sini, bodoh!
Kau selalu tak mendengarkan aku, Ricky!
Kau selalu menciptakan kekusutan.
Sepatu tak pernah kauletakkan pada raknya.
Selalu kau pakai dari yang kacau warnanya.
Berapa kali pula kau kuperingatkan
kalau tidur jangan mendengkur.
Itu barbar.
Dan Ricky!
Kau harus belajar makan sup yang lebih sopan!
(New York mengangkang.
Keras dan angkuh.
Semen dan baja.
Dingin dan teguh.
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)
Rick dari Corona telah di sini
Ya. Ya.
Betsy, engkau di mana?
- Ricky, saying, aku di sini.
Ya. Ya.
+ Engkau hitam.
Engkau bukan Betsy.
Engkau macam Negro dari Harlem.
- Pegang pinggulku
Rasakan betapa lunak dan penuhnya.
Namaku Betsy. Ya. Ya.
+ Gadisku selalu menjawab dengan sabar
segala pertanyaanku yang bodoh dan sangsi.
- Aku Betsy kerna aku Negro.
Kerna aku Negro
aku adalah tanggung jawabmu.
Ya, namaku Betsy.
Telah kuputuskan namaku Betsy
+ Apyun. Apyun.
Aku hasratkan pengalaman mistis.
Aku ingin melukis tubuhmu telanjang.
sambil kuhisap mariyuana.
- Ricky, saying, engkau akan kuninabobokan.
Dan bagai bayi akan kau puja tetekku.
+ Dari Queens. Dari Brooklyn. Dan dari Manhattan….
- Ricky, saying, garudaku saying.
+ Sebab irama combo, sebab buaian saxophone…
- Pejamkan matamu.
Dan bagaikan banyo
mainkanlah aku
(Di Harlem, Manhattan, New York
di mana orang tinggal penuh sesak
di mana udara bau air kencing dan sampah
di musim panas dengan udara sembilan puluh lima drajat
para Negro menari watusi di tepi jalan
dan pada drajat ke seratus dua
terjadi perkelahian antara mereka).
Hallo. Hallo.
Di sini Rick dari Corona.
Dan Betsy juga di sini…
Hallo, Dokter.
Kami harus disuntik sekarang juga.
Kami kena rajasinga.
Sajak-sajak Joko Pinurbo
Celana, 1
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Celana, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)
Celana, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
(1996)
Catatan:
Dalam buku Di Bawah Kibaran Sarung versi 2001 bait terakhir sajak tersebut berbunyi:
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan raja kecil
yang selama ini disembahnya
tunduk tak berdaya.
Catatan diambil dari http://jokopinurbo.com/
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Celana, 2
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)
Celana, 3
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
(1996)
Catatan:
Dalam buku Di Bawah Kibaran Sarung versi 2001 bait terakhir sajak tersebut berbunyi:
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan raja kecil
yang selama ini disembahnya
tunduk tak berdaya.
Catatan diambil dari http://jokopinurbo.com/
Poem By Federico Garcia Lorca
Gacela of the Dark Death
I want to sleep the dream of the apples,
to withdraw from the tumult of cemetries.
I want to sleep the dream of that child
who wanted to cut his heart on the high seas.
I don't want to hear again that the dead do not lose their blood,
that the putrid mouth goes on asking for water.
I don't want to learn of the tortures of the grass,
nor of the moon with a serpent's mouth
that labors before dawn.
I want to sleep awhile,
awhile, a minute, a century;
but all must know that I have not died;
that there is a stable of gold in my lips;
that I am the small friend of the West wing;
that I am the intense shadows of my tears.
Cover me at dawn with a veil,
because dawn will throw fistfuls of ants at me,
and wet with hard water my shoes
so that the pincers of the scorpion slide.
For I want to sleep the dream of the apples,
to learn a lament that will cleanse me to earth;
for I want to live with that dark child
who wanted to cut his heart on the high seas.
Gacela of the Dead Child
Each afternoon in Granada,
each afternoon, a child dies.
Each afternoon the water sits down
and chats with its companions.
The dead wear mossy wings.
The cloudy wind and the clear wind
are two pheasants in flight through the towers,
and the day is a wounded boy.
Not a flicker of lark was left in the air
when I met you in the caverns of wine.
Not the crumb of a cloud was left in the ground
when you were drowned in the river.
A giant of water fell down over the hills,
and the valley was tumbling with lilies and dogs.
In my hands' violet shadow, your body,
dead on the bank, was an angel of coldness.
City that Not Does Sleep
In the sky there is nobody asleep. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
The creatures of the moon sniff and prowl about their cabins.
The living iguanas will come and bite the men who do not dream,
and the man who rushes out with his spirit broken will meet on the
street corner
the unbelievable alligator quiet beneath the tender protest of the
stars.
Nobody is asleep on earth. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
In a graveyard far off there is a corpse
who has moaned for three years
because of a dry countryside on his knee;
and that boy they buried this morning cried so much
it was necessary to call out the dogs to keep him quiet.
Life is not a dream. Careful! Careful! Careful!
We fall down the stairs in order to eat the moist earth
or we climb to the knife edge of the snow with the voices of the dead
dahlias.
But forgetfulness does not exist, dreams do not exist;
flesh exists. Kisses tie our mouths
in a thicket of new veins,
and whoever his pain pains will feel that pain forever
and whoever is afraid of death will carry it on his shoulders.
One day
the horses will live in the saloons
and the enraged ants
will throw themselves on the yellow skies that take refuge in the
eyes of cows.
Another day
we will watch the preserved butterflies rise from the dead
and still walking through a country of gray sponges and silent boats
we will watch our ring flash and roses spring from our tongue.
Careful! Be careful! Be careful!
The men who still have marks of the claw and the thunderstorm,
and that boy who cries because he has never heard of the invention
of the bridge,
or that dead man who possesses now only his head and a shoe,
we must carry them to the wall where the iguanas and the snakes
are waiting,
where the bear's teeth are waiting,
where the mummified hand of the boy is waiting,
and the hair of the camel stands on end with a violent blue shudder.
Nobody is sleeping in the sky. Nobody, nobody.
Nobody is sleeping.
If someone does close his eyes,
a whip, boys, a whip!
Let there be a landscape of open eyes
and bitter wounds on fire.
No one is sleeping in this world. No one, no one.
I have said it before.
No one is sleeping.
But if someone grows too much moss on his temples during the
night,
open the stage trapdoors so he can see in the moonlight
the lying goblets, and the poison, and the skull of the theaters.
I want to sleep the dream of the apples,
to withdraw from the tumult of cemetries.
I want to sleep the dream of that child
who wanted to cut his heart on the high seas.
I don't want to hear again that the dead do not lose their blood,
that the putrid mouth goes on asking for water.
I don't want to learn of the tortures of the grass,
nor of the moon with a serpent's mouth
that labors before dawn.
I want to sleep awhile,
awhile, a minute, a century;
but all must know that I have not died;
that there is a stable of gold in my lips;
that I am the small friend of the West wing;
that I am the intense shadows of my tears.
Cover me at dawn with a veil,
because dawn will throw fistfuls of ants at me,
and wet with hard water my shoes
so that the pincers of the scorpion slide.
For I want to sleep the dream of the apples,
to learn a lament that will cleanse me to earth;
for I want to live with that dark child
who wanted to cut his heart on the high seas.
Gacela of the Dead Child
Each afternoon in Granada,
each afternoon, a child dies.
Each afternoon the water sits down
and chats with its companions.
The dead wear mossy wings.
The cloudy wind and the clear wind
are two pheasants in flight through the towers,
and the day is a wounded boy.
Not a flicker of lark was left in the air
when I met you in the caverns of wine.
Not the crumb of a cloud was left in the ground
when you were drowned in the river.
A giant of water fell down over the hills,
and the valley was tumbling with lilies and dogs.
In my hands' violet shadow, your body,
dead on the bank, was an angel of coldness.
City that Not Does Sleep
In the sky there is nobody asleep. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
The creatures of the moon sniff and prowl about their cabins.
The living iguanas will come and bite the men who do not dream,
and the man who rushes out with his spirit broken will meet on the
street corner
the unbelievable alligator quiet beneath the tender protest of the
stars.
Nobody is asleep on earth. Nobody, nobody.
Nobody is asleep.
In a graveyard far off there is a corpse
who has moaned for three years
because of a dry countryside on his knee;
and that boy they buried this morning cried so much
it was necessary to call out the dogs to keep him quiet.
Life is not a dream. Careful! Careful! Careful!
We fall down the stairs in order to eat the moist earth
or we climb to the knife edge of the snow with the voices of the dead
dahlias.
But forgetfulness does not exist, dreams do not exist;
flesh exists. Kisses tie our mouths
in a thicket of new veins,
and whoever his pain pains will feel that pain forever
and whoever is afraid of death will carry it on his shoulders.
One day
the horses will live in the saloons
and the enraged ants
will throw themselves on the yellow skies that take refuge in the
eyes of cows.
Another day
we will watch the preserved butterflies rise from the dead
and still walking through a country of gray sponges and silent boats
we will watch our ring flash and roses spring from our tongue.
Careful! Be careful! Be careful!
The men who still have marks of the claw and the thunderstorm,
and that boy who cries because he has never heard of the invention
of the bridge,
or that dead man who possesses now only his head and a shoe,
we must carry them to the wall where the iguanas and the snakes
are waiting,
where the bear's teeth are waiting,
where the mummified hand of the boy is waiting,
and the hair of the camel stands on end with a violent blue shudder.
Nobody is sleeping in the sky. Nobody, nobody.
Nobody is sleeping.
If someone does close his eyes,
a whip, boys, a whip!
Let there be a landscape of open eyes
and bitter wounds on fire.
No one is sleeping in this world. No one, no one.
I have said it before.
No one is sleeping.
But if someone grows too much moss on his temples during the
night,
open the stage trapdoors so he can see in the moonlight
the lying goblets, and the poison, and the skull of the theaters.
Gurindam Dua Belas
Oleh : Raja Ali Haji
Fasal 1
barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang makrifat
barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah
barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahri
barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya
barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat
Fasal 2
barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut
barang siapa meninggalkan sembahyang
seperti rumah tiada bertiang
barang siapa meninggalkan puasa
tidaklah mendapat dua termasa
barang siapa meninggalkan zakat
tiada hartanya beroleh berkat
barang siapa meninggalkan haji
tiadalah ia menyempurnakan janji
Fasal 3
apabila terpelihara mata
sedikitlah cita-cita
apabila terpelihara kuping
khabar yang jahat tiadalah damping
apabila terpelihara lidah
niscaya dapat daripadanya faedah
bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
daripada segala berat dan ringan
apabila perut terlalu penuh
keluarlah fi’il yang tiada senonoh
anggota tengah hendaklah ingat
di situlah banyak orang yang hilang semangat
hendaklah peliharakan kaki
daripada berjalan yang membawa rugi
Fasal 4
hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zalim segala anggota pun rubuh
apabila dengki sudah bertanah
datang daripadanya beberapa anak panah
mengumpat dan memuji hendaklah pikir
di situlah banyak orang yang tergelincir
pekerjaan marah jangan dibela
nanti hilang akal di kepala
jika sedikit pun berbuat bohong
boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
tanda orang yang amat celaka
aib dirinya tiada ia sangka
bakhil jangan diberi singgah
itulah perompak yang amat gagah
barang siapa yang sudah besar
janganlah kelakuannya membuat kasar
barang siapa perkataan kotor
mulutnya itu umpama ketor
di manatah tahu salah diri
jika tiada orang lain yang berperi
pekerjaan takbur jangan direpih
sebelum mati didapat juga sepih
Fasal 5
jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi dan bahasa
jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia
jika hendak mengenal orang mulia
lihatlah kepada kelakuan dia
jika hendak mengenal orang yang berilmu
bertanya dan belajar tiadalah jemu
jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal
jika hendak mengenal orang yang baik perangai
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai
Fasal 6
cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat
cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru
cahari olehmu akan isteri
yang boleh menyerahkan diri
cahari olehmu akan kawan
pilih segala orang yang setiawan
cahari olehmu akan abdi
yang ada baik sedikit budi
Fasal 7
apabila banyak berkata-kata
di situlah jalan masuk dusta
apabila banyak berlebih-lebihan suka
itulah tanda hampirkan duka
apabila kita kurang siasat
itulah tanda pekerjaan hendak sesat
apabila anak tidak dilatih
jika besar bapanya letih
apabila banyak mencacat orang
itulah tanda dirinya kurang
apabila orang yang banyak tidur
sia-sia sahajalah umur
apabila mendengar akan khabar
menerimanya itu hendaklah sabar
apabila mendengar akan aduan
membicarakannya itu hendaklah cemburuan
apabila perkataan yang lemah lembut
lekaslah segala orang mengikut
apabila perkataan yang amat kasar
lekaslah orang sekalian gusar
apabila pekerjaan yang amat benar
tiada boleh orang berbuat honar
Fasal 8
barang siapa khianat akan dirinya
apalagi kepada lainnya
kepada dirinya ia aniaya
orang itu jangan engkau percaya
lidah suka membenarkan dirinya
daripada yang lain dapat kesalahannya
daripada memuji diri hendaklah sabar
biar daripada orang datangnya khabar
orang yang suka menampakkan jasa
setengah daripada syirik mengaku kuasa
kejahatan diri sembunyikan
kebajikan diri diamkan
keaiban orang jangan dibuka
keaiban diri hendaklah sangka
Fasal 9
tahu pekerjaan tak baik tapi dikerjakan
bukannya manusia ia itulah syaitan
kejahatan seorang perempaun tua
itulah iblis punya penggawa
kepada segala hamba-hamba raja
di situlah syaitan tempatnya manja
kebanyakan orang yang muda-muda
di situlah syaitan tempat bergoda
perkumpulan laki-laki dengan perempuan
di situlah syaitan punya jamuan
adapun orang tua yang hemat
syaitan tak suka membuat sahabat
jika orang muda kuat berguru
dengan syaitan jadi berseteru
Fasal 10
dengan bapa jangan durhaka
supaya Allah tidak murka
dengan ibu hendaklah hormat
supaya badan dapat selamat
dengan anak janganlah lalai
supaya boleh naik ke tengah balai
dengan isteri dan gundik janganlah alpa
supaya kemaluan jangan menerpa
dengan kawan hendaklah adil
supaya tangannya jadi kapil
Fasal 11
hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa
hendaklah jadi kepala
buang perangai yang cela
hendak memegang amanat
buanglah khianat
hendak marah
dahulukan hujjah
hendak dimalui
jangan memalui
hendak ramai
murahkan perangai
Fasal 12
raja mufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri
betul hati kepada raja
tanda jadi sebarang kerja
hukum adil atas rakyat
tanda raja beroleh inayat
kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu
hormat akan orang yang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai
ingatkan dirinya mati
itulah asal berbuat bakti
akhirat itu terlalu nyata
kepada hati yang tidak buta
Fasal 1
barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama
barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang makrifat
barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah
barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahri
barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya
barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat
Fasal 2
barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut
barang siapa meninggalkan sembahyang
seperti rumah tiada bertiang
barang siapa meninggalkan puasa
tidaklah mendapat dua termasa
barang siapa meninggalkan zakat
tiada hartanya beroleh berkat
barang siapa meninggalkan haji
tiadalah ia menyempurnakan janji
Fasal 3
apabila terpelihara mata
sedikitlah cita-cita
apabila terpelihara kuping
khabar yang jahat tiadalah damping
apabila terpelihara lidah
niscaya dapat daripadanya faedah
bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan
daripada segala berat dan ringan
apabila perut terlalu penuh
keluarlah fi’il yang tiada senonoh
anggota tengah hendaklah ingat
di situlah banyak orang yang hilang semangat
hendaklah peliharakan kaki
daripada berjalan yang membawa rugi
Fasal 4
hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zalim segala anggota pun rubuh
apabila dengki sudah bertanah
datang daripadanya beberapa anak panah
mengumpat dan memuji hendaklah pikir
di situlah banyak orang yang tergelincir
pekerjaan marah jangan dibela
nanti hilang akal di kepala
jika sedikit pun berbuat bohong
boleh diumpamakan mulutnya itu pekung
tanda orang yang amat celaka
aib dirinya tiada ia sangka
bakhil jangan diberi singgah
itulah perompak yang amat gagah
barang siapa yang sudah besar
janganlah kelakuannya membuat kasar
barang siapa perkataan kotor
mulutnya itu umpama ketor
di manatah tahu salah diri
jika tiada orang lain yang berperi
pekerjaan takbur jangan direpih
sebelum mati didapat juga sepih
Fasal 5
jika hendak mengenal orang berbangsa
lihat kepada budi dan bahasa
jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia
jika hendak mengenal orang mulia
lihatlah kepada kelakuan dia
jika hendak mengenal orang yang berilmu
bertanya dan belajar tiadalah jemu
jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal
jika hendak mengenal orang yang baik perangai
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai
Fasal 6
cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat
cahari olehmu akan guru
yang boleh tahukan tiap seteru
cahari olehmu akan isteri
yang boleh menyerahkan diri
cahari olehmu akan kawan
pilih segala orang yang setiawan
cahari olehmu akan abdi
yang ada baik sedikit budi
Fasal 7
apabila banyak berkata-kata
di situlah jalan masuk dusta
apabila banyak berlebih-lebihan suka
itulah tanda hampirkan duka
apabila kita kurang siasat
itulah tanda pekerjaan hendak sesat
apabila anak tidak dilatih
jika besar bapanya letih
apabila banyak mencacat orang
itulah tanda dirinya kurang
apabila orang yang banyak tidur
sia-sia sahajalah umur
apabila mendengar akan khabar
menerimanya itu hendaklah sabar
apabila mendengar akan aduan
membicarakannya itu hendaklah cemburuan
apabila perkataan yang lemah lembut
lekaslah segala orang mengikut
apabila perkataan yang amat kasar
lekaslah orang sekalian gusar
apabila pekerjaan yang amat benar
tiada boleh orang berbuat honar
Fasal 8
barang siapa khianat akan dirinya
apalagi kepada lainnya
kepada dirinya ia aniaya
orang itu jangan engkau percaya
lidah suka membenarkan dirinya
daripada yang lain dapat kesalahannya
daripada memuji diri hendaklah sabar
biar daripada orang datangnya khabar
orang yang suka menampakkan jasa
setengah daripada syirik mengaku kuasa
kejahatan diri sembunyikan
kebajikan diri diamkan
keaiban orang jangan dibuka
keaiban diri hendaklah sangka
Fasal 9
tahu pekerjaan tak baik tapi dikerjakan
bukannya manusia ia itulah syaitan
kejahatan seorang perempaun tua
itulah iblis punya penggawa
kepada segala hamba-hamba raja
di situlah syaitan tempatnya manja
kebanyakan orang yang muda-muda
di situlah syaitan tempat bergoda
perkumpulan laki-laki dengan perempuan
di situlah syaitan punya jamuan
adapun orang tua yang hemat
syaitan tak suka membuat sahabat
jika orang muda kuat berguru
dengan syaitan jadi berseteru
Fasal 10
dengan bapa jangan durhaka
supaya Allah tidak murka
dengan ibu hendaklah hormat
supaya badan dapat selamat
dengan anak janganlah lalai
supaya boleh naik ke tengah balai
dengan isteri dan gundik janganlah alpa
supaya kemaluan jangan menerpa
dengan kawan hendaklah adil
supaya tangannya jadi kapil
Fasal 11
hendaklah berjasa
kepada yang sebangsa
hendaklah jadi kepala
buang perangai yang cela
hendak memegang amanat
buanglah khianat
hendak marah
dahulukan hujjah
hendak dimalui
jangan memalui
hendak ramai
murahkan perangai
Fasal 12
raja mufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri
betul hati kepada raja
tanda jadi sebarang kerja
hukum adil atas rakyat
tanda raja beroleh inayat
kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu
hormat akan orang yang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai
ingatkan dirinya mati
itulah asal berbuat bakti
akhirat itu terlalu nyata
kepada hati yang tidak buta
Madura, akulah darahmu
Catatan : puisi inilah yang membuat saya tergugah, menulis puisi, waktu itu saya merasakan tubuh saya bergetar hebat, terimakasih buat pak( bingung sih mau manggil apa) D. Zamawi Imron
Madura, Akulah Darahmu
oleh: D. Zamawi Imron
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
Madura, Akulah Darahmu
oleh: D. Zamawi Imron
di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
Hasan Aspahani
saya sangat suka dengan penyair ini , di facebook ia sering memberikan bahan renung bagi saya, sungguh ladang ilmu yang subur, ia giat mencari bentuk sajak yang baru.
ini sajak yang aku ambil dari sejuta-puisi.blogspot.com , sajak yang sungguh menarik untuk saya
Aku Lihat Indonesia Bekerja
AKU lihat, lelaki muda - membangun rumah kecilnya,agar tak lagi menumpang hidup bersama orangtua,
"Ini kayu-kayu sisa," katanya. Istrinya berdiri tak jauh
dari sana, menggendong anak perempuan mereka,
di tengah sepetak cabai merah yang lebat buahnya.
Lelaki muda dan istrinya, mereka punya ijazah sarjana,
tapi tegas menolak dimintai sogokan tes pegawai negara.
*
AKU lihat, lelaki penuh usia - menghitung buah kelapa,
memuatnya ke truk bak terbuka. "Ini mau saya antar
ke kota, ke pedagang pasar langganan saya," katanya.
Truk pikap itu disetir oleh anak muda, sebaya anak
bungsunya - sebaya dengan usia pohon-pohon kelapa
yang ia tanam setelah menaklukkan rawa - tanpa pernah
meminta bantuan dari anggaran pembangunan negara.
Lelaki penuh usia - ia punya cara agar tidak hanya
bisa menggerutu dan menyalahkan negerinya: Indonesia.
*
AKU lihat nelayan belia merajut robek jala. Menambal
rekah papan perahunya. Menera timbangan kuningan.
Istrinya menemaninya bercakap-cakap tentang harga
solar, dan suku cadang mesin tempel, sambil mengikat
tungkai dan sapit kepiting, dan menyiang kepala udang.
Mereka berbincang tentang rekening tabungan di BRI
unit desa - simpanan untuk masuk sekolah anak mereka.
Keluarga nelayan belia - ikut mempersiapkan masa dengan
negerinya dengan jalan sendiri, cara yang sederhana.
*
AKU lihat sekelompok anak muda - sedang belajar bisnis,
menggarap proyek pertama: pameran kuliner Indonesia,
di Balai Kota. "100 stan sudah terisi semua. Ah, negeri
kita memang alangkah kaya," kata mereka, sambil
menghitung berapa laba yang bisa mereka sisihkan, untuk
proyek bisnis mereka selanjutnya: Ekspo Batik Nusantara.
Mereka pemuda - kelak mereka akan menjadi pengusaha yang
membuat banyak tempat kerja bagi tenaga baru di negerinya.
*
AKU lihat sehimpun mahasiswa menggelar debat calon
legislatif di stasiun televisi lokal. "Agar rakyat
tahu siapa calon anggota DPRD yang punya misi dan visi,
tak sekedar cari muka dan cari makan di lembaga negara,"
kata salah seorang dari mereka.
Sehimpun mahasiswa - sedang belajar dan mengajari diri
mereka sendiri, bagaimana menghidupkan api demokrasi.
*
AKU lihat guru muda - mengajar murid kelas 4 SD-nya.
Ia suka bergurau agar pelajaran rumit tersampaikan
dengan gembira. Ia baru saja lulus tes pegawai -
setelah menjadi guru honor, beberapa tahun lamanya.
Guru muda - ia lihat masa depan negerinya di mata
murid-muridnya, dan di papan tulis di depan kelasnya.
*
AKU lihat animator di studio menggarap adegan film
pesanan produser dunia. Aku lihat jurnalis muda
melaporkan korban bencana. Aku lihat penulis teks
iklan mencari cara bagaimana sebuah merek dibesarkan.
Aku lihat wiraniaga di kios penjual isi ulang pulsa.
Aku lihat fotografer muda. Aku lihat petinju berlatih.
Aku lihat penyair meresitalkan sajaknya. Aku lihat
sekelompok orang memperdebatkan sastra.
Aku lihat montir-montir merawat mesin sepeda motor.
Aku lihat para editor buku menyunting naskah. Aku
lihat kru maskapai udara mempersiapkan keberangkatan.
Aku lihat, komisi pemilihan mempersiapkan perhelatan.
Her Epitaph
sajak Rainer Maria Rilke
Rose, oh pure contradiction, delight
Of being no – one's
sleep under so many
eyelids
Rose, oh pure contradiction, delight
Of being no – one's
sleep under so many
eyelids
World Was
sajak Rainer Maria Rilke
world was in the face of the beloved-
but suddenly in poured out:
World is outside
World is not to be grasped
Why did i not drink, as lifted it
From the full, the beloved face
World, so near my mouth scented it?
ah, i drank. i drank inexhaustibly
But i was filled up too much
World, and, drinking, i myself overflowed
Sonnet XC (es)

sajak pablo neruda
Pensé morir, sentí de cerca el frío,
y de cuanto viví sólo a ti te dejaba:
tu boca era mi día y mi noche terrestres
y tu piel la república fundada por mis besos.
En ese instante se terminaron los libros,
la amistad, los tesoros sin tregua acumulados,
la casa transparente que tú y yo construímos:
todo dejó de ser, menos tus ojos.
Porque el amor, mientras la vida nos acosa,
es simplemente una ola alta sobre las olas,
pero ay cuando la muerte viene a tocar la puerta
hay sólo tu mirada para tanto vacío,
sólo tu claridad para no seguir siendo,
sólo tu amor para cerrar la sombra.
Tonight I can write the saddest lines
Sajak pablo Neruda
Write, for example,'The night is shattered
and the blue stars shiver in the distance.'
The night wind revolves in the sky and sings.
Tonight I can write the saddest lines.
I loved her, and sometimes she loved me too.
Through nights like this one I held her in my arms
I kissed her again and again under the endless sky.
She loved me sometimes, and I loved her too.
How could one not have loved her great still eyes.
Tonight I can write the saddest lines.
To think that I do not have her. To feel that I have lost her.
To hear the immense night, still more immense without her.
And the verse falls to the soul like dew to the pasture.
What does it matter that my love could not keep her.
The night is shattered and she is not with me.
This is all. In the distance someone is singing. In the distance.
My soul is not satisfied that it has lost her.
My sight searches for her as though to go to her.
My heart looks for her, and she is not with me.
The same night whitening the same trees.
We, of that time, are no longer the same.
I no longer love her, that's certain, but how I loved her.
My voice tried to find the wind to touch her hearing.
Another's. She will be another's. Like my kisses before.
Her voice. Her bright body. Her inifinite eyes.
I no longer love her, that's certain, but maybe I love her.
Love is so short, forgetting is so long.
Because through nights like this one I held her in my arms
my sould is not satisfied that it has lost her.
Though this be the last pain that she makes me suffer
and these the last verses that I write for her.
Subscribe to:
Posts (Atom)