Puisi-puisi Ahda Imran
SANTOLO
1
Jauh di bawah batu-batu karang
mungkin suaramulah yang bergaung. Naik ke permukaan
air. Menguap dan membuat burung-burung oleng. Pasir
menghembus dan menyerbu kakiku, menyerupai lapisan
kabut. Dalam pikiranku ada selalu yang tak bisa kuselamatkan
yaitu, melupakan suaramu. Suara yang terus membuatku pergi
dari setiap tempat sebelum tahu bahwa tempat itu
memiliki sebuah nama
2
Di pulau kecil, di mulut sebuah tanjung
kubiarkan ingatanku terurai. Bayanganmu menempel
di telapak tanganku, di pepohonan bakau, di lengang
angin pada gerak pelan sebuah jembatan gantung. Ombak
memasuki tanjung, menjauhi laut, mencari-cari namamu
di antara tebing-tebing karang. Sambil menyelamatkan
pecahan-pecahan tubuhmu, kujauhi gelagat hujan
yang datang dari arah dermaga. Angin yang kasar
menderu di sekeliling pulau
3
Di pesisir muara tubuhku menjadi malam—
dengan gelap yang lebih sempurna dari kulit tubuhmu
sepasang matamu berdegup dalam pikiranku, sedang suaraku
terbenam dalam pasir. Kuingat kembali sebuah kota
dan gedung-gedungnya yang kelabu. Di situ orang-orang
menyebut namamu seolah menyebut sebuah nama dari peristiwa
masa lalu yang kurang menyenangkan. Di sini dan kini, setiap kali
kusebut namamu mulutku dipenuhi cahaya panas
4
Baiklah. Jauh menyusur pantai
aku sembahyangkan tubuhmu. Kusempurnakan
kewajibanku pada luka dan seluruh kesedihan sambil menari
bersama elang-elang laut. Membuat putaran di laut lengang
di sepanjang garis air dan langit. Dalam cuaca samar
seperti desis ular yang terusir, kudengar suaramu
beranjak dari pesisir tanjung
5
Jauh di bawah batu-batu karang
aku menyimpan pecahan tubuhmu...
2010
---
High Lander *)
Kujelaskan padamu, segala sesuatunya
telah kupahami sebagai puisi. Juga bajumu
yang kumal dan sepatumu yang mengelupak
ratusan tahun adalah kesendirianku menghuni
rumah ini. Membersihkan daun-daun pintu,
mengganti alas meja, atau memasang
tempat-tempat lilin. Apabila cuaca baik,
aku berjalan-jalan ke arah sebuah kota
bercakap-cakap dengan anggota parlemen
yang selalu menggaruk-garuk lidahnya,
menyapa anak-anak yang bermain
dengan bonekanya yang buntung.
Tengah malam, ikan-ikan
dalam sungai menghirup nafasku
dari sebuah lubuk yang paling rahasia
tengah hari kau datang
membawa keletihan
dan kecemasan
Kujelaskan padamu, aku hidup mewarisi
Kaum Abadi, berada dalam seluruhnya, juga
ketika segala sesuatunya menjadi letusan-letusan,
bendera-bendera, pidato para pemimpin
yang membosankan, sedu-sedan kekasih di pantai
nan jauh. Bukan. Ini bukan awal musim hujan
penghabisan. Dengan senang hati aku akan terus menulis
surat padamu, juga puisi. Menangis diam-diam,
tidur di sebuah perahu, lalu terbangun
dan memulai kembali mimpi buruk ini
1998
*) Sebuah legenda Skotlandia yang pernah menjadi serial televisi dengan bintang Lorenzo Lamaz, juga pernah diangkat ke layar film dan dibintangi oleh Sean Conery
---
Pada Suatu Hari
Hari ini terlalu pagi
untuk sebuah kesedihan. Mereka,
para pembohong dulu, kembali datang
dari arah hutan-hutan malam
aku memandang dan melupakan
pepohonan memasang daun-daunnya,
seperti perempuan menjemur
pakaian dalamnya
Kutinggalkan semua
di atas meja. Kuburan massal
yang digali, skandal anggota parlemen,
ulang-tahun presiden, tukang becak
yang menjual anaknya, kapal-kapal
asing yang membawa beras dan gula
Tak ada lagi yang kupahami
kesedihan atau juga Tuhan, kecuali pertanyaanku
sendiri. Kedua kakiku bernafas ke dalam batu,
menyatu bersama mata air. Kedua tanganku
mengembang, menyentuh lapisan paling lembut
dari langit dan pasir
Aku hidup dalam kebahagiaan
yang aneh. Tak ada siapapun yang datang
padaku untuk berjanji, sebab aku telah
membunuhnya tadi malam
Hari ini terlalu pagi
untuk sebuah kesedihan. Tak ada siapa pun
yang mesti kudatangi, sebab seluruh alamat
telah menjadi kutukan. Tak ada lagi
yang harus kupahami, kecuali pertanyaan
sendiri,
mengapa aku begitu berbahagia
2003
---
Di Delta Sungai
Di delta sungai, pohon-pohon tumbuh
dalam air. Di situ ikan-ikan menyimpan telurnya,
sebelum kembali berenang ke hulu. Dari arah
laut entah siapa menahan gerak angin. Daun
dan ranting lepas, menempel di udara, seperti
motif di kain selendang ibu
Kutemukan juga bagian lain di luar apa
yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi, sesuatu
yang tak menyerupai apapun. Orang-orang
menangis di rambutku, sedang kedua kakiku
lepas dan hanyut
Air dan angin menghilang
tanah dan langit begitu lengang
Di delta sungai, gerimis dan pohon
membuat upacara. Ikan-ikan menyerahkan
telurnya sebagai sesaji. Pulau-pulau terurai. Laut
membuka pintu angin, menghembuskan sesuatu
yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi
burung-burung melepas sehelai rambutku
sehelai,
sehelai,
dan sehelai lagi
sedang jemari tanganku
terus berjatuhan
2001-2006
---
Perempuan yang Menyulam di Tepi Sungai
Kusulam sungai dengan tangan yang sakit,
dengan bergelas-gelas kopi, dengan seluruh ingatan
buruk yang bergelantungan di rambutku. Entah
dari hulu yang mana sungai ini datang, membelah
kota, seperti juga entah sejak kapan aku
berada dalam kamar ini
Buih dan arus air terus menyerbu tanganku
Di antara gulungan benang, rokokku berulangkali
padam. Jauh ke pusat malam tubuhku semakin kurus,
ginjalku kerap terasa sakit. Tapi sebaiknya tak ada
yang harus kupikirkan. Juga orang-orang yang saling
berbisik, mengancamku dengan seekor anjing
dalam kepalanya
Tanganku terus menyulam,
bergerak di antara air dan ikan-ikan,
menjadi rakit dan jembatan
Kunyalakan pemanas air. Di luar
suara hujan seperti derap sepasukan berkuda
seseorang melintasi kamar tergesa, lalu membanting
pintu. Seorang lelaki mengeluh di seberang sungai,
di depan sebuah lukisan. Tubuhnya terikat
di tiang kayu yang terbakar, kulitnya mengelupas,
tulang-tulangnya merah
Kusulam sungai dengan gambar-gambar
tubuhku sendiri, dengan bergelas-gelas kopi,
dengan perempuan lain yang menatapku dari dalam
cermin. Ah! Menjadi perempuan adalah menyulam
baju hangat bagi para lelaki. Tapi sebaiknya tak ada
yang harus kupikirkan
Dalam sulamanku lelaki hanya sepasukan
berkuda tanpa kepala
Kusulam sungai dengan bergulung-gulung
benang yang mengurung tubuhku. Di luar hujan
melewati jembatan. Kopiku habis dan rokokku
padam lagi, sedang handphoneku jatuh ke dalam
air. Sungai terus mengalir ke dalam sulamanku,
menjadi laut dan tubuhku. Suatu hari,
ombak dan gelombangnya
akan sampai padamu!
2006
Puisi Ahda Imran menceritakan hal-hal yang sederhana, tapi selalu menarik untuk dibaca. Salut.
ReplyDelete