Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Jalan Raya, Kendaraan dan Kegilaan yang Akut

former forces vintage motor bike and trailer outside Bewdley station March 2011Setiap sore saya terpaksa melakukan perjalanan panjang, Surabaya-Gresik. Saya kuliah di Surabaya tepatnya di daerah Kertajaya itu. Dan saya biasa tidur di Gresik, Sidorukun Indah. Di jalan, setiap orang yang menyetir kendaraannya, baik itu sepeda motor, mobil, truck, bus atau apa lah itu, sudah bukan manusia lagi. Di jalan dengan kendaraannya masing-masing mereka kerasukan arwah jahat.

Ketika lampu merah semua kendaraan pasti berhenti dan mempersilahkan kendaraan dari jalur lain lewat. Tetapi itu dulu, di jalan seluruhnya tidak menentu. Kadang mereka nyelonong, mencuri waktu dan kesempatan. Keburu mau ke mana juga saya tidak tahu.

Renungan dan Goal Tahun 2012


Tahun 2011 telah lewat dan kembali saya melihat pencapaian yang telah saya dapat di dunia tulis menulis. Saya sangat menyukai dunia ini, seakan-akan hidup saya hanya berada di situ.

Tahun 2011 saya menetapkan tujuan untuk belajar menulis cerpen, novel dan opini. Hasilnya tidak seperti yang saya harapkan. Hanya ada satu cerpen dan artikel yang masuk koran. Semuanya terbit di koran Berita Pagi. Saya memang seringkali begitu, tidak bisa mencapai goal yang telah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi goal itu tetap saya buat. Alasannya, saya memerlukannya agar saya tetap semangat.

Menulis Memoar itu Asik

Teman saya, Ayu yang beralamat blog di sini menampilkan tag title blognya: Memoar Ayu. Posting blognya mempunyai category post (Sebenarnya mesin blogspot tidak mempunyai category post, hanya saja para peggunannya memanfaatkan label) : Biografi, puisi, cerita dan jurnal.

Perlu dicatat posting kampung-puisi kali ini tidak membahas blognya si Ayu. Barangkali lain kali saja, kalau pembaca ingin mengetahuinya lebih lanjut, klik saja link tersebut. Saya akan membahas tentang apa itu memoar.

Memoar, dalam bahasa inggris sepadan dengan kata memoir. Yang artinya kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya. Atau catatan, rekaman tentang pengalaman hidup seseorang.

Saya Mengajak Kamu Menulis Ebook

Siapa sih yang tidak mau Ebook gratis? Tidak ada. Para penghuni dunia internet yang sebagian besar pencari informasi akan dengan senang hati mendownload. Terlepas ebook itu mempunyai konten yang berkualitas atau tidak. Toh, walau pun jelek tidak ada ruginya bagi mereka.

Dengan beberapa pertimbangan, saya mengajak kamu para pembaca blog saya untuk menulis ebook. Ya, sebuah buku digital. Tidak sulit membuatnya, kamu ketik naskah layaknya membuat buku biasa. kemudian ubahlah formatnya ke PDF. Selesai.

Kamu bisa membuat ebook kumpulan puisi. Seperti yang saya lakukan beberapa bulan lalu. Bisa juga kumpulan cerpen. Atau mungkin novel? Tidak masalah, apapun itu! Prinsipnya buatlah ebook yang menurut kamu akan bermanfaat bagi pembaca.

Apa untung bagi kamu, kamu dan kamu? Secara materi memang tidak ada. kecuali jika kamu menjualnya. Saya mempunyai sebuah alasan, cukup kuat untuk membuatmu tertarik membuat ebook gratisan.

Sebagai sarana melatih diri dalam menulis. Saya yakin pembaca blog saya sebagian besar adalah orang yang suka dengan dunia kepenulisan. Karena konten situs ini. Nah, karena kamu suka, saya sarankan mencoba. Dengan membuat ebook, kamu mempunyai gambaran jelas bagaimana dinamika membuat buku.

Ajang memperkenalkan diri. Cantumkan saja namamu di ebook itu, biar efektif buatlah biografi penulis di halaman akhir, layaknya buku beneran. Karena ebook itu gratis, maka kemungkinan ebook itu diunduh besar. Semakin banyak diunduh, semakin dikenallah kamu. Tentu saja, buatlah ebook yang berkualitas, sehingga kesan mereka terhadapmu juga bagus.

Membuat blog kamu banyak pengunjung. Logika sama dengan di atas, cantumkan link blogmu di sana. Selain itu, sebagai sarana mengukur apakah tulisan kita sudah enak dibaca atau tidak. Mintalah komentar kepada mereka yang mengunduh..

Setelah membuat ebook, kamu bisa mempostingnya di blog dan cantumkan link downloadnya. Pasti ada seseorang yang suka barang gratis tertarik. Dan ebookmu dibaca. Saya pribadi senang, jika tulisan saya dibaca.

Apalagi menurutmu? Saran dan komentar bisa disampaikan di bawah. Tertarik membuat buku digital?Atau kamu mau ebook kumpulan buku puisi saya? silahkan: Lagu Terahir Selepas Kau Pergi

Menapak Ke Puncak Sajak

Minggu kemarin, saya pergi ke toko buku. Tidak untuk membeli buku, hanya sekedar baca-baca. Loh? Baca-baca kok di toko buku? Mestinya kan di perputakaan. Apa salahnya? Tidak ada hukum yang melarang, mesti tidak pantas. Atau kadang-kadang saya melihat-lihat buku bagus, yang menjadi target.

Saya sering ke toko buku. Tidak seluruhnya saya berniat membeli, tapi akhirnya membeli. Tak tahan godaannya. Maka, hari itu saya tetap membeli buku. Buku yang tidak saya duga ada di toko buku itu. karena buku tersebut sudah lama dicetak dan didistribusikan.

Buku terbitan Koekoesan, tahun 2007. Sudah lama, bukan? Lazimnya, sebuah buku lama sudah tidak dipajang di rak. Tidak tahu kenapa. Mungkin sudah tidak menjual, kali ya? Atau kontrak kerjasamanya habis. Entahlah.

Buku itu, karya Hasan Aspahani, pemilik blog sejuta-puisi. Judulnya? Menapak ke Puncak Sajak. Jangan Menulis Puisi Sebelum Baca buku ini. Covernya berwarna kuning. Ada seorang wanit sedang tersenyum saya kira, dan tumpukan buku di depan.

Membaca kata pengantarnya saya jadi tertarik untuk menghabiskannya sekali baca. Selain buku itu juga tipis. Cuma 142 halaman, kok. Judul kata pengantarnya menggoda: Karena Menulis Puisi (pun) Harus (Dianggap) Gampang...


Paparan ide yang digunakan di buku tersebut dimodel seperti tanya jawab. Pernah membaca buku Mengarang itu Gampang? Karya Arswendo Atmowiloto? Sama caranya memaparkan maksud penulisnya. Hal tersebut diakui Hasan Asphani. Buku ini dimodel paparan dialektik. Saya suka sekalai model paparan begituan.

Sebenarnya isi buku tersebut cikal bakalnya adalah rubrik Ruang Renung di blognya. Rubrik tanya jawab dia (Hasan) tentang puisi, atau renungannya terhadad puisi.


Menulis Puisi Adalah Proses Menghayati

Menulis Puisi Adalah Proses Menghayati

"Mulailah! Selanjutnya pikiran akan tumbuh. Mulailah! Dan tugas akan selesai!" (Goethe)

Sehabis pulang dari Bank Mandiri(6/6) untuk membuka rekening, handphone saya berdering. Rupanya ada pesan dari teman jauh saya di Jogja, Dwi S Wibowo. Isi pesan tersebut awalnya tak bisa saya mengerti secara utuh, isi pesan tersebut begini, "Makin ke sini aku mulai merasa puisiku tidak berkembang." Setelah saya balas, akhirnya saya tahu bahwa dia sedang merasa puisinya semakin tidak enak untuk dibaca. Kasus seperti ini seringkali terjadi bagi teman-teman penyair. Barangkali sudah menjadi masalah laten, Afrizal Malna misalnya pernah mengaku telah membakar puisi-puisinya karena merasa puisinya hanyalah sampah. Bahkan dia pernah berketetapan hati untuk berhenti. Kejadian serupa dialami oleh Sutardji, yang mengaku sebagai Presiden penyair.

Sejak saya mulai menggeluti dunia kepenulisan--kira-kira dua tahun yang lalu--saya sudah tiga kali mengalaminya. Pertama ketika baru mulai, ketika itu saya belajar menulis di situs kemudian.com. Adalah Pringadi Abdi Adi yang terus memotivasi saya. Kedua ketika mulai memberanikan diri untuk mengirimkan karya ke berbagai media cetak. Dan ketiga ketika saya mulai kuliah dan belajar ilmu ekonomi. Semua cobaan tersebut berhasil saya lewati dengan baik menurut saya. Saya pikir menulis puisi adalah sebuah proses menghayati filsafat hidup, sehingga tanpa menulis puisi pun saya merasa sedang melakukannya. Sedangkan menulis puisi secara sesungguhnya, saya anggap hanya ritual seorang penyair setelah mengalami dan menghayati hidup.

Banyak cara yang bisa Anda lakukan ketika menemui permasalahan yang sama. Salah satu cara paling gampang adalah menyimpannya dulu. Jangan meniru Malna. Jika naskah Anda berakhir dengan kegagalan, maka simpanlah dulu. Jangan terlalu memaksakan diri. Tulisan, tak terkecuali puisi tidak selesai karena berbagai macam hal. Barangkali Anda sedang letih sehingga pikiran dan tenaga tidak bisa tercurah.

Olah raga ringan seperti jalan-jalan dan lari akan mengembalikan kebugaran seorang penyair. Saat merasa buntu, dan tidak menemukan kata dan cara yang pas untuk mengungkapkan seperti yang Anda inginkan, sekedar bangkit dari duduk, berdiri, keluar ruangan atau melihat-lihat lingkungan sekitar bisa mengembalikan kesegaran berpikir dan merasa. Ingat! daya konsentrasi manusia tidak bisa terus-terusan dipakai, Ada batas waktu menggunakannya.

Bila Anda telah mulai menulis lagi, tetapi ternyata menemui jalan buntu, tinggalkan dulu naskah tersebut. Tetapi jangan dibuang di tong sampah. Barangkali Anda butuh pengendapan. Bila Anda mempunyai ide lain, lebih baik menulislah dengan ide tersebut. Tetapi jika tidak, berhentilah dan kerjakan aktivitas lain.

Yang terpenting dari menulis puisi adalah ketekunan. Sebuah ide sederhana jika diolah dan ditekuni bakal menjadi puisi yang menggetarkan. Tengoklah keberhasilan Sapardi. Pusinya sederhana dan menulis perihal remeh, semisal sakit, hujan dan kejadian berjalan dan di belakangnya bayang-bayangnya mengikuti.

Tetapi bagi seorang penyair, ternyata menulis puisi menjadi sebuah kebutuhan. Jika tidak segera ditunaikan, tubuh, tangan dan otaknya terasa kaku. Dia merasa seperti dikejar-kejar sesuatu. Menurut saya, jangan terlalu menghiraukannya, anggap saja sebagai ujian. Anda bisa menahannya. Saya yakin. Toh, jika Anda terburu-buru dan hasilnya mengecewakan jadinya Anda akan kembali merasa puisi Anda tidak berkembang.

Akhirnya, di akhir tulisan ini saya ingin kembali mengulang dan mengatakan kepada Anda bahwa menulis puisi adalah proses menghayati, bukan sesuatu yang harus dikerjakan secara cepat seperti memasak mie instan.(Syaiful Bahri)


Sumber Majalah Terbit

Berita Pagi Edisi 13 Maret 2011

KETIKA KENANGAN, KETIKA HARAPAN

Sebuah tulisan yang berangkat dari pembacaan cerpen Nisa karya Syaiful Bahri
oleh : Eko Putra
(Penyair, Pengoleksi dan Pengagum Serial Silat "Wiro Sableng")


"Jika memang kenangan tidak dapat dimusnahkan, bukan berarti kenangan tidak bisa diciptakan," ungkap Syaiful Bahri dalam kalimat pertama dari sebuah cerita pendeknya berjudul Nisa, yang dimuat pada Minggu 27 Februari 2011 lalu di halaman Jeda ini. Kalimat serupa dimunculkan kembali oleh Syaiful pada bagian akhir cerita, yang ditulisnya seperti ini ; "Jika memang kenangan hanya bisa diciptakan, itu berarti kenangan tidak bisa diubah, kenangan hanya bisa diciptakan, hanya diciptakan." Sekilas pembacaan, inilah yang dapat saya tangkap secara langsung, tanpa harus membaca lagi rangkaian cerita yang ditulis oleh Syaiful. Namun, karena hal itu pula, saya tidak ingin melewatkan begitu saja, apa yang diketengahkan oleh Syaiful dalam cerpennya ini. Maka sayapun melakukan beberapa kali pembacaan ulang, guna memahami dengan baik dan cermat kandungan cerita yang disampaikan.



Tentunya, pembacaan saya ini bisa jadi hanya upaya mencoba "menafsirkan" dengan cara-cara saya sendiri. Yang dimaksud "dengan cara saya sendiri" di sini, adalah cerita pendek ini memikat saya atau tidak, membuat tenaga saya terkuras hanya karena manuver idiom-idiom yang dibuatnya atau tidak , dan penyampaian yang membuat saya malas untuk meneruskan isi bacaan atau tidak, dan, segalanya hanya pada lingkaran subjektif saya. Jadi mohon maaf, saya tidak berusaha menilai sudut pandang secara teknis atau apapun yang terkait dengan sejumlah referensi yang mungkin diperlukan. Saya hanya menggunakan sense, feel, dan taste saya. Itu artinya, tulisan ini barangkali tidak lebih dari uraian atau sebuah kesan yang saya dapatkan dari pembacaan cerpen Syaiful berjudul Nisa ini.

Ketika saya berkeinginan memahami apa yang disampaikan oleh Syaiful dalam cerpen ini. Saya mencoba menemukan sejumlah benang merah yang memungkinkan saya mendapatkan apa-apa yang terdapat di dalam di dalam pokok cerita. Sayapun tidak ingin memberikan tanggapan secara serta merta atas pembacaan saya. Maka, seperti yang saya utarakan pada paragraf sebelumnya, sayapun melakukan pembacaan ulang. Setelah melakukan pembacaan ulang, walau secara sepintas ketika pertama kali saya membacanya. Saya menemukan tiga kata. Bagi saya tiga kata ini sudah cukup untuk sekadar menarik tafsiran. Kata yang saya maksud adalah "Saya", "Nisa", dan "kenangan".

Kata "Saya" itu menunjukkan bahwa si pencerita (dalam hal ini Syaiful) menggunakan sudut padang orang pertama tunggal. Dengan sendirinya, bahwa cerpen ini menggunakan si pencerita sebagai pelaku utama yang terlibat dalam certita. Kemudian, "Nisa" , kata ini telah digunakan oleh Syaiful sebagai judul dari cerita. Dan sepintas, kata tersebut telah menunjukkan suatu persefsi bahwa itu adalah nama seseorang. Kata terakhir yakni ; "Kenangan".

Jika demikian, untuk mempermudah pengolahan tulisan ini. Maka sayapun mengajukan semacam pertanyaan. Pertanyaannya begini ; "Apa yang terjadi dengan "Saya" bersama seseorang yang bernama "Nisa" sehingga menimbulkan sebuah "kenangan"?

Diceritakan bahwa tokoh "Saya" ketika masa remajanya, pernah melakukan pertemuan, mungkin beberapa kali pertemuan dengan seseorang bernama "Nisa". Mereka melakukan pertemuan tersebut di daerah pantai. Pertemuan yang mereka lakukan nyaris tanpa pengungkapan perasaan di antara keduanya. Seakan mereka hanya membahasakan, bahwa "ada yang mereka sepakati, walau hanya diterjemahkan oleh diam." Perasaan. Inilah yang acapkali menjadi ironi dalam sebuah hubungan percintaan. Tanpa kejelasan status hubungan, namun di satu sisi hubungan itu sendiri memberikan ketakutan bagi dunia percintaan. Kemudian "saya" mencoba berandai, ia ingin menjadikan perempuan (baca ; Nisa) seperti laut, dan dirinya sebagai nelayan. Sebagai laut, tentu perempuan akan diarungi nelayan. Di sana, sebagai laki-laki terkadang ia ingin menyelam ke dasar kehidupan, menguak sebuah rahasia. Hubungan harmonis diciptakan, segalanya selaras antara laut dan nelayan.

Dan, pertemuan yang dilakukan mereka dengan penuh andai-andai ini, menimbulkan semacam "kenangan". Yang mana kenangan itu sendiri, hanya bisa hadir, dan tidak mungkin dilenyapkan.

Saya mencoba memahami, bahwa Syaiful berusaha melawan kehendak takdir dengan menegakkan eksistensi keberadaannya sebagai manusia yang tidak lagi terlibat dalam kenyataan yang pernah dihadirkan oleh masalalu. Kenangan, adalah pelampiasan terakhir yang disediakan oleh waktu.

Tetapi, secara sadar, kemudian Syaiful mesti melihat, bahwa kenangan bukan suatu sentimentalia.

Bukan suatu ketakukan untuk merebut masa depan. Walaupun, masih ada keinginan bagi dirinya untuk mencoba hadir, dan menghadirkan seseorang dari masalalunya. Yang barangkali adalah ; "Nisa".

Bagi saya, hal paling utama yang ingin disampaikan oleh Syaiful dalam cerpennya ini, adalah upaya penyampaian secara filosofis yang bersifat ironis. Yang sering terjadi dalam kehidupan remaja ketika mereka dihadapkan kondisi hukum alam. Di mana segala kebutuhan biologis perasaan seringkali datang kepada dunia remaja. Yang hal ini mengakibatkan salah kaprah, sehingga muncullah penyimpangan-penyimpangan sosial dalam masyarakat. Syaiful ingin mengajak, dan memahami bahwa untuk menyatukan perasaan mungkin kita tidak membutuhkan "bahasa".

Teknisnya, cerpen ini disampaikan oleh Syaiful dengan menggunakan plot "kembali ke belakang" dan bagi saya, cerpen ini berhasil secara tema. Bahasa-bahasa yang digunakan Syaiful sendiri cenderung "formalis" dan terurai. Tidak ada manuver-manuver bahasa atau idiom yang mesti membuat saya harus mengerutkan kening. Metafor dan perbandingan yang digunakan oleh Syaiful sendiripun, selaras dan sesuai. Walaupun, mestinya Syaiful masih dapat memungkinkan garapan-garapan yang lebih hiperbolis. Misalnya ; tokoh "Saya" dan "Nisa" kembali berjumpa di suatu kesempatan. Dengan suasana baru, yang mungkin akan menumbuhkan sentimentalia-sentimentalia baru.

Selebihnya, seperti yang pernah saya singgung di atas sebelumnya. Pembacaan yang saya lakukan ini mungkin hanya suatu upaya silaturahmi tekstual dan semacam langkah bangun yang kukuh untuk persahabata. Semoga cahaya selalu menyalakan jiwa.



Kampung Keramat, Maret 2011

Mengenang Masa Akhir Sekolah dengan Horison

Entah bagaimana, saya tiba-tiba ingin mengenang masa sekolah! Terutama ketika SMK, menurut hemat saya masa ini bukan masa yang terlalu indah buat saya--dalam arti ada masa yang lebih indah darinya. Akan tetapi akhir sekolah ini malah menyenangkan, lebih menyenangkan dari masa lain, hal tersebut karena beberapa puisi saya masuk Kaki Langit Horison.

Berikut ini, ulasan dari mas Jamal untuk puisi-puisi saya.


Bayanganmu Lenyap Pergi Lewat Listrik yang Mengalir Lagi
Oleh: Jamal D. Rahman

Membaca puisi-puisi Syaiful Bahri adalah berjumpa dengan kejutan demi kejutan. Meskipun tidak selalu bersifat naratif, puisi-puisinya bagaimanapun mengandung sebentuk cerita. Dan cerita akan menarik manakala di dalamnya ada sesuatu yang tak terduga, ialah sesuatu yang menyimpang dari apa yang semula dibayangkan pembaca tentang kelanjutan cerita. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, kekuatan puisi Syaiful Bahri antara lain terletak pada kejutan demi kejutan yang disuguhkannya terutama pada bagian akhir puisi. Kejutann itu seringkali merupakan penutup puisi yang mengesankan.



Sudah tentu kejutan itu berhasil bukan semata karena kejutan itu sendiri. Melainkan karena puisi-puisi Syaiful Bahri telah memenuhi persyaratan minimal puisi yang berhasil, yaitu diksi yang baik dan imajinasi yang hidup. Tanpa didukung oleh diksi dan imajinasi yang baik, kejutan dalam puisi bagaimanapun tidak akan berhasil pula. Demikianlah puisi Syaiful Bahri pertama-tama kohesif secara sintaksis dan koheren secara semantik. Itu sebabnya, kejutan —sesuatu yang tak terduga— dalam puisinya memiliki arti penting.

Puisi “Tiba-tiba”, misalnya. Puisi itu pada dasarnya mengemukakan sebuah cerita, yaitu semacam fantasi tentang hubungan aku dengan engkau. Jika disederhanakan, cerita yang mengemuka di sana adalah bahwa aku mampu melihat engkau saat aku tak mampu melihat apa pun. Sebaliknya, aku justru tak mampu melihat engkau saat aku mampu melihat semuanya. Semua itu seakan berlangsung begitu saja, dan begitu cepat, seperti puisi tiba-tiba sulit ditulis tetapi kadangkala begitu mudah sehingga seakan puisi itu menuliskan dirinya sendiri. Sebagai cerita, ada alur dan latar di sana. Alur tampak pada perkembangan cerita mulai “… tak ada yang mampu aku lihat/ kecuali bayanganmu yang melintas-lintas/ di depan mataku” hingga “apa pun mampu aku lihat kecuali bayanganmu”. Sementara, latar tampak pada suasana ketika lampu mati dan ketika lampu hidup.

Ada dua kejutan dalam puisi tersebut. Yang pertama adalah larik “… tak ada yang mampu aku lihat/ kecuali bayanganmu …”; yang kedua adalah larik “apa pun mampu aku lihat kecuali bayanganmu”. Keduanya mengejutkan, karena sangat sulit kita membayangkan dua hal tersebut di tengah kita membaca atau mengikuti cerita dalam puisi “Tiba-tiba”. Kita tidak menduga bahwa cerita akan berkembang ke arah gagasan yang mengandung paradoks itu. Dan terutama pada kedua kejutan itulah terletak kekuatan sajak “Tiba-tiba”. Tetapi, sekali lagi, hal ini hanya berlaku karena diksi dan imajinasi dalam puisi tersebut terjaga dengan baik.

Ada kalanya kejutan dalam puisi Syaiful Bahri terasa jenaka. Kita dibuat tersenyum oleh kejutan yang disajikan, misalnya dalam puisi “Selalu Begitu” dan “Aku Punya Banyak Cara Menggubah Sajak”. Dalam puisi pertama dikatakan bahwa puisi ternyata tak bisa berbuat banyak dalam mengemukakan cinta, tapi sang aku tetap menulis puisi, meskipun itu puisi yang sia-sia. Kita tersenyum pahit ketika di akhir puisi dikatakan, toh selalu ada yang membaca puisi yang sia-sia. Siswa SMKN 5 Surabaya ini tampak memiliki keganderungan pada humor sebagai cara mengemukakan gagasan dalam puisi.

Apa yang perlu digarisbawahi dari keganderungan ini adalah perlunya kehati-hatian. Syaiful harus selektif terhadap humor yang disajikannya dalam puisi, baik humor itu disadarinya atau tidak. Tanpa seleksi yang ketat, nada jenaka atau humor itu bisa membuat puisi-puisinya terjatuh menjadi kelucuan yang bersifat anekdotal belaka. Ialah kelucuan yang dangkal. Kecenderungan ke arah sana tampak misalnya dalam puisi “Suatu Hal” dan “Kuli Bangunan”. Kedua puisi itu sesungguhnya cukup menarik, tetapi nada humor yang digunakan di sana terasa mendangkalkan apa yang secara substansial ingin dikemukakan.

Yang juga menarik dari puisi Syaiful Bahri adalah kesederhanaannya, baik masalah maupun bahasanya. Puisinya tidak menyajikan imaji yang demikian memukau, tidak pula menggunakan bahasa yang penuh tenaga. Karena sederhana, puisinya mudah dicerna dan dinikmati. Kesederhanaan puisi Syaiful dengan demikian adalah satu kekuatan melalui mana efektivias diksi dan ketajaman imajinasi menyatu menjadi momen puitik yang menghentak.

Akhirnya, ulasan ini saya tutup dengan dua bait puisi “Tiba-tiba” yang memukau saya. Ia memukau, di samping karena imajinya, juga karena nada musikalnya. Bait itu dibangun tidak saja dengan persamaan bunyi, melainkan juga oleh pemenggalan kalimat menjadi larik puisi yang tampak diperhitungkan dengan matang:

Sebagaimana lampu tiba-tiba mati

tiba-tiba hidup kembali. puisi tiba-tiba
sulit ditulis tiba-tiba menulis sendiri



tiba-tiba lampu hidup kembali dan puisi tiba-tiba jadi
bayanganmu lenyap pergi lewat listrik yang mengalir lagi
….***

Sumber: Kakilangit/ Horison Januari 2010

Setelah Membaca Alusi


Catatan pra: sebenarnya saya agak terlambat mendapatkan Alusi. Dulu saya pernah berjanji memesan buku ini pada penulisnya Pringadi AS. Tapi saya ini termasuk orang yang gaptek jadi saya selalu ragu memesan buku lewat jalur transfer.. Saya lebih suka dan sreg membeli buku di toko buku. Uang yang saya tabung di Bank pun tidak pernah saya ambil, karena memang tidak bisa dan selalu gugup masuk ke ATM. Tapi akhirnya saya dapat juga di gramedia royal plaza surabaya.

Sekedar info jangan anggap ini esai, ya? Cuma kesan-kesan aja atau cara saya menikmati puisi-puisi Pingadi AS.


*

Saya diajari oleh buku dan guru bahasa indonesia saya bahwa latar belakang penulis bisa dijadikan instrument untuk masuk dalam sebuah karya sastra. Seperti yang tertulis di biografi di bagian belakang buku ini, Pingadi AS lahir di palembang. Tahun 2005 diterima di ITB sebelum akhirnya terkeluarkan secara tidak resmi, dan kini sedang menempuh pendidikan D3 di STAN Bintaro.

Hmm, makanya sebagian besar puisi-puisinya penuh dengan angka-angka. Unik Tapi susah diselami. Bisa dikatakan puisi-puisinya dibuat dengan sistem tetutup. Tertutup? Maksudnya begini secara analogi bila ada orang bemain catur, kata makan yang diucapkannya bukan makan dalam arti yang seperti biasa. Tapi makan dalam konteks catur. Kita tak akan tahu maksud orang itu bila kita tak tahu dia sedang bermain catur. Begitulah sebagian besar puisi-puisi dalam buku ini dibuat Seperti yang terlihat di:

SETELAH bertahun ia hidup, ia baru sadar
Tak ada i di namanya sendiri. Ia tanya orang
Tuanya yang sudah pikun, dan nekad pergi
Ke dukun biar tahu kenapa tak ada i
Di namanya sendiri?


( Euler )


i disitu bukan berarti huruf i tapi berarti lambang dari kalkulus. Hal yang sama dapat juga ditemui di puisi-puisi dengan judul Preto, Valhalla, SPINTER, Magnitudo, Roronoa dll. Kita bau bisa menikmatinya bila kita tahu apa (atau Siapa) Euler, Preto, Valhalla, SPINTER, Magnitudo, Roronoa dll. Sekedar contoh di puisi berjudul Roronoa. Roronoa adalah nama karakter dalam komik One Piece, nama lengkapnya Roronoa Zoro. Jadi kalau mau menikmatinya anda harus tahu cerita komik itu. Seperti kata skypea anda tidak akan tahu bila tidak membaca komik One Piece. Mungkin inilah yang dimaksudkan Pingadi AS memberi judul antologi puisi tunggalnya dengan Alusi.

Eksperimen Pringadi AS ini memang agak sulit diselami seperti yang dikatakan dalam esai-esai yang sudah. Tapi saya yang punya kecenderungan suka matematika dan angka-angka atau secara garis besar type orang keilmuwan. Saya jadi lebih bisa menikmati puisi-puisi dalam buku ini. Meski agak sulit juga. Melelahkan. Toh saya juga mengalami kenikmatan.

Hasil eksperimen Pringadi AS yang paling berhasil menurut saya terlihat di puisi yang berjudul Segitiga yang dipesembahkan kepada eny sapratilla. Dengan tetap memakai lambang-lambang dari matematika seperti kata segitiga dan persegi. Pringadi berbicara tentang cinta. Saya jadi terbayang cinta segitiga meskipun tidak ada kata yang jelas menyebutkan demikian, terasa tersirat saja. Mungkin karena segitiga dan persegi adalah matematika sederhana. Mudah dipahami. Dan tidak rumit dan menakutkan kayak kalkulus.

*

Pringadi AS juga memotret kehidupan sosial. Protes terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Tapi tetap berbicara dengan matematika atau angka (kekayaan, kemiskinan). Dan perilaku-perilaku aneh seperti yang terlihat di puisi Fragmen; Dalam Kereta. Si aku yang terlihat begitu prihatin pada kondisi masyarakat. Seperti banyaknya copet di dalam kereta, tetapi ternyata di ending seakan-akan si Aku lah pencopet itu sendiri. Adegan seperti ini adalah paradoks bagi saya. Bila diteliti atau dipikirkan lebih dalam ternyata pencopet-pencopet itu juga tidak mau menjadi pencopet. tapi karena keadaan yang memaksa.

Pringadi AS juga berbicara tentang kekerasan rumah tangga seperti yang booming diberitakan di tivi. Yang berakhir pada perceraian. Mungkin seperti yang terjadi pada artis-artis. Ini terlihat dari kata air panas, setrika, dan gunting yang menjadi benda rumah:

1
34 bulan tentang penyiksaan
tetap tidak bisa jadi alasan

air panas, setrikaan, dan tusukan gunting
apa pikiranmu sinting?

(Siti)


Memang kecenderungan membela rakyat sudah banyak dilakukan penyair-penyair sebelumnya seperti WS Rendra, Widji Tukul, Emha Ainun Nadjib dll. Tapi Pringadi menurutku punya gaya yang lain. Toh tema seperti ini kan memang perlu ditulis mengingat kondisi negara yang begini. Bukankah kebaruan dalam puisi tidak harus dalam hal tema? Bukankah tema sosial adalah tema abadi dalam puisi? Seperti halnya tema-tema lainnya seperti cinta, kematian, kepahlawanan dll.




*

Pringadi AS tenyata juga melakukan eksperimen lain. Menghianati eksperimen sebelumnya yang belum kelar menurutku. yang tidak lagi bebicara denga angka. Tapi gaya bahasa Alusi atau Alusio masih telihat. Efeknya? Saya lebih menyukai puisi-puisi seperti ini seperti di puisi Minggu Terakhir Bulan Desember

--Minggu, 31/12/06

Kuil, Mesjid, Gereja
Kita harus berdoa?
Meminta tahun berganti
Harap terisi, dan duka
Kian tersisih?


Juga dalam puisi:

-- Sabtu, 14/02/2009
Cokelat, pemen, kopi
Kita tidak memutuskan tidur malam ini
Tapi kita bermalam saja
Di gereja tua
Bertukar darah

(Minggu Kedua Bulan Februari)

*

Masih penasaran?

Baiklah saya lanjutkan.

Aduh, beli aja langsung bukunya sana. Capek saya. Kapan-kapan saya lanjutkan lagi. Lagian kalau saya uraikan semua kan tidak seru?




SYAIFUL BAHRI
Pengelola blog www.kampung-puisi.blogspot.com

Blues

Saya pergi ke http://www.poets.org/ dan menemui penjelasan tentang puisi yang berbentuk Blues, ini langsung saya terjemahkan saja biar lebih mudah

Puisi Blues

Salah satu bentuk yang paling populer Amerika puisi, puisi blues berasal dari African American tradisi lisan dan tradisi musik blues. Sebuah puisi blues biasanya mengambil tema-tema seperti perjuangan, putus asa, dan seks. Sering (tapi tidak harus) mengikuti suatu bentuk, di mana pernyataan ini dibuat dalam baris pertama, variasi diberikan pada baris kedua, dan alternatif yang ironis ini dideklarasikan pada baris ketiga.

Afrika-Amerika Ralph Ellison penulis mengatakan bahwa meskipun blues sering tentang perjuangan dan depresi, mereka juga penuh tekad untuk mengatasi kesulitan "melalui semata ketangguhan semangat." Ini ketahanan dalam menghadapi kesulitan merupakan salah satu keunggulan dari blues puisi.

Sebagian besar penyair blues termasuk Sterling A. Brown, James Weldon Johnson, dan Langston Hughes. Judul puisi dari Hughes 'buku pertama, The Letih Blues, juga merupakan contoh yang sangat baik dari puisi blues. Dimulai:

"Mengoceh syncopated mengantuk lagu,
Goyang bolak-balik ke mellow merintih,
Aku mendengar seorang Negro bermain.
Lenox Avenue turun pada malam
Oleh yang pucat pucat kusam lampu gas tua
Dia melakukan malas bergoyang. . . "

Contoh lain adalah puisi Brown "Riverbank Blues," yang dimulai dengan:

"Seorang pria git kakinya ditetapkan dalam mudbank lengket,
Seorang pria git dis air kuning dalam darah,
Tidak perlu untuk hopin ', tidak perlu lakukan,
Sungai berlumpur membuatnya tetap untuk selamanya. "

Penyair kontemporer Kevin Young adalah melanjutkan tradisi yang paling buku terbaru, Jelly Roll, adalah koleksi yang sangat menarik pada tradisi blues. Young adalah editor antologi baru-baru ini, Blues Puisi.