Entah bagaimana, saya tiba-tiba ingin mengenang masa sekolah! Terutama ketika SMK, menurut hemat saya masa ini bukan masa yang terlalu indah buat saya--dalam arti ada masa yang lebih indah darinya. Akan tetapi akhir sekolah ini malah menyenangkan, lebih menyenangkan dari masa lain, hal tersebut karena beberapa puisi saya masuk Kaki Langit Horison.
Berikut ini, ulasan dari mas Jamal untuk puisi-puisi saya.
Bayanganmu Lenyap Pergi Lewat Listrik yang Mengalir Lagi
Oleh: Jamal D. Rahman
Membaca puisi-puisi Syaiful Bahri adalah berjumpa dengan kejutan demi kejutan. Meskipun tidak selalu bersifat naratif, puisi-puisinya bagaimanapun mengandung sebentuk cerita. Dan cerita akan menarik manakala di dalamnya ada sesuatu yang tak terduga, ialah sesuatu yang menyimpang dari apa yang semula dibayangkan pembaca tentang kelanjutan cerita. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, kekuatan puisi Syaiful Bahri antara lain terletak pada kejutan demi kejutan yang disuguhkannya terutama pada bagian akhir puisi. Kejutann itu seringkali merupakan penutup puisi yang mengesankan.
Sudah tentu kejutan itu berhasil bukan semata karena kejutan itu sendiri. Melainkan karena puisi-puisi Syaiful Bahri telah memenuhi persyaratan minimal puisi yang berhasil, yaitu diksi yang baik dan imajinasi yang hidup. Tanpa didukung oleh diksi dan imajinasi yang baik, kejutan dalam puisi bagaimanapun tidak akan berhasil pula. Demikianlah puisi Syaiful Bahri pertama-tama kohesif secara sintaksis dan koheren secara semantik. Itu sebabnya, kejutan —sesuatu yang tak terduga— dalam puisinya memiliki arti penting.
Puisi “Tiba-tiba”, misalnya. Puisi itu pada dasarnya mengemukakan sebuah cerita, yaitu semacam fantasi tentang hubungan aku dengan engkau. Jika disederhanakan, cerita yang mengemuka di sana adalah bahwa aku mampu melihat engkau saat aku tak mampu melihat apa pun. Sebaliknya, aku justru tak mampu melihat engkau saat aku mampu melihat semuanya. Semua itu seakan berlangsung begitu saja, dan begitu cepat, seperti puisi tiba-tiba sulit ditulis tetapi kadangkala begitu mudah sehingga seakan puisi itu menuliskan dirinya sendiri. Sebagai cerita, ada alur dan latar di sana. Alur tampak pada perkembangan cerita mulai “… tak ada yang mampu aku lihat/ kecuali bayanganmu yang melintas-lintas/ di depan mataku” hingga “apa pun mampu aku lihat kecuali bayanganmu”. Sementara, latar tampak pada suasana ketika lampu mati dan ketika lampu hidup.
Ada dua kejutan dalam puisi tersebut. Yang pertama adalah larik “… tak ada yang mampu aku lihat/ kecuali bayanganmu …”; yang kedua adalah larik “apa pun mampu aku lihat kecuali bayanganmu”. Keduanya mengejutkan, karena sangat sulit kita membayangkan dua hal tersebut di tengah kita membaca atau mengikuti cerita dalam puisi “Tiba-tiba”. Kita tidak menduga bahwa cerita akan berkembang ke arah gagasan yang mengandung paradoks itu. Dan terutama pada kedua kejutan itulah terletak kekuatan sajak “Tiba-tiba”. Tetapi, sekali lagi, hal ini hanya berlaku karena diksi dan imajinasi dalam puisi tersebut terjaga dengan baik.
Ada kalanya kejutan dalam puisi Syaiful Bahri terasa jenaka. Kita dibuat tersenyum oleh kejutan yang disajikan, misalnya dalam puisi “Selalu Begitu” dan “Aku Punya Banyak Cara Menggubah Sajak”. Dalam puisi pertama dikatakan bahwa puisi ternyata tak bisa berbuat banyak dalam mengemukakan cinta, tapi sang aku tetap menulis puisi, meskipun itu puisi yang sia-sia. Kita tersenyum pahit ketika di akhir puisi dikatakan, toh selalu ada yang membaca puisi yang sia-sia. Siswa SMKN 5 Surabaya ini tampak memiliki keganderungan pada humor sebagai cara mengemukakan gagasan dalam puisi.
Apa yang perlu digarisbawahi dari keganderungan ini adalah perlunya kehati-hatian. Syaiful harus selektif terhadap humor yang disajikannya dalam puisi, baik humor itu disadarinya atau tidak. Tanpa seleksi yang ketat, nada jenaka atau humor itu bisa membuat puisi-puisinya terjatuh menjadi kelucuan yang bersifat anekdotal belaka. Ialah kelucuan yang dangkal. Kecenderungan ke arah sana tampak misalnya dalam puisi “Suatu Hal” dan “Kuli Bangunan”. Kedua puisi itu sesungguhnya cukup menarik, tetapi nada humor yang digunakan di sana terasa mendangkalkan apa yang secara substansial ingin dikemukakan.
Yang juga menarik dari puisi Syaiful Bahri adalah kesederhanaannya, baik masalah maupun bahasanya. Puisinya tidak menyajikan imaji yang demikian memukau, tidak pula menggunakan bahasa yang penuh tenaga. Karena sederhana, puisinya mudah dicerna dan dinikmati. Kesederhanaan puisi Syaiful dengan demikian adalah satu kekuatan melalui mana efektivias diksi dan ketajaman imajinasi menyatu menjadi momen puitik yang menghentak.
Akhirnya, ulasan ini saya tutup dengan dua bait puisi “Tiba-tiba” yang memukau saya. Ia memukau, di samping karena imajinya, juga karena nada musikalnya. Bait itu dibangun tidak saja dengan persamaan bunyi, melainkan juga oleh pemenggalan kalimat menjadi larik puisi yang tampak diperhitungkan dengan matang:
Sebagaimana lampu tiba-tiba mati
tiba-tiba hidup kembali. puisi tiba-tiba
sulit ditulis tiba-tiba menulis sendiri
…
tiba-tiba lampu hidup kembali dan puisi tiba-tiba jadi
bayanganmu lenyap pergi lewat listrik yang mengalir lagi
….***
Sumber: Kakilangit/ Horison Januari 2010
No comments:
Post a Comment