SAJAK-SAJAK DINASTI T’ANG

SAJAK-SAJAK DINASTI T’ANG

Terjemahan Abdul Hadi W. M.



Tu Fu

INGAT ISTRI DI NEGERI ASING

Istriku yang renta tinggal di negeri asing
Sepuluh mulut kami terpisah oleh angin dan salju
Siapa yang membiarkan mereka lama tak terawat?
Aku pun pulang untuk berbagi lapar dan haus dengan mereka
Memasuki pintu rumah, kudengar jeritan pilu:
Anak bungsu kami mati -- diserang penyakit busung
Bagaimana aku mesti menanggung duka maha besar ini?
Tetangga-tetangga kami hanya termangu dan sedih
Sebagai ayah jiwaku lunglai dan malu
Kurang makan telah mengantar kematiannya.


HUJAN

Hujan yang baik tahu kapan ia harus turun
Yaitu pada musim semi seperti ini -- agar bibit bertunas.
Ia suka turun pada malam hari bersama angin sepoi
Dan diam-diam menyirami antero muka bumi.
Di atas alam yang tenang mendung hitam mengambang.
Hanya kilatan cahaya tampak dari perahu di sungai
Namun esok semua akan berubah merah dan basah
Seluruh kota Cheng Tu pun akan ditaburi bunga-bunga merekah.


CHENG TU

Kini cahaya lemah matahari petang
Jatuh atas baju pengembaraanku.
Aku berjalan, pemandangan pun berganti:
Tiba-tiba saja aku seakan di bawah langit lain
Kutemui pula kenalan baruku, tak tahu
Kapan bisa kujenguk lagi tanah tempatku lahir.
Sungai besar mengalir jauh ke timur,
Tak putus bagaikan hari-hari seorang pengembara.
Gedung-gedung megah dan indah berdiri di seluruh kota.
Hutan kelam temaram pada akhir musim semi ini
Kota pun riuh oleh suara seruling dan rebab
Dan mengagumkan, namun masih saja merasa asing di sini
Aku pun menoleh ke bukit-bukit di kejauhan
Menjelang senja burung-burung kembali ke sarangnya.
Ah kapan pula aku bisa kembali ke ibukota?
Bulan belum melayang cukup tinggi:
Bintang-bintang bersinar saling memamerkan diri.
Ah, sejak dulu pengembara ada, apa guna berduka.


MALAM BULAN PURNAMA

Malam ini bulan bersinar terang di Fu-chou.
Ia akan menunggu sendiri di dalam kamarnya.
Aku sedih mengenang si kecil, jauh di sana.
Siapakah yang tidak ingat Chang`an?
Kabut semerbak mengguyur bajunya yang muram.
Cahaya bulan menerangi lengan putihnya bak permata.
Kapan kami bisa singkap tirai lembut di pintu
Bulan berkilauan di atas kami, hingga air mata kering.


MENGENANG SAUDARA-SAUDARAKU DI BAWAH BULAN

Genderang perang membuat lelaki-lelaki berpisah
Pedih rasanya ketika musim semi tiba
Mendengar angsa liar menjerit di medan perang
Malam ini kulihat betapa embun berwarna perak
Dan kuingat bulan bersinar terang di desaku.
Saudara-saudaraku berserak di empat penjuru negeri
Tak kutahu mereka itu hidup ataukah mati.
Surat-surat entah ke mana, siapa pula akan menerimanya
Selama perang masih merajalela?


UNTUK ANAK BUNGSUKU

O Chu-tzu! Musim semi telah kembali, namun kita masih terpisah.
Sejuta burung kepodang bernyanyi dalam cuaca dingin ini.
Kita terpisah, namun aku masih sempat terperanjat
Karena musim berganti. Siapa pula yang cerdas seperti kau?
Aku hanya mengenal sungai-sungai dan jalan perbukitan,
Pagar rumput, desa yang dikelilingi oleh pohonan tua.
Pedih mengimpikan kau, aku hanya berpikir tentang tidur.
Di beranda depan, badanku terbungkuk-bungkuk,
Merasakan betapa matahari menekan punggungku.



Po Chu I

HATI DI MUSIM GUGUR

Jarang sekali tamu masuk melalui pagar ini
Banyak pohon pinus dan bambu tumbuh dekat tangga rumah.
Udara musim gugur tak masuk melalui tembok timur,
Angin sejuk bertiup ke halaman sebelah barat.
Aku punya kecapi, tapi malas memetiknya.
Aku punya banyak buku, tapi tak sempat membacanya.
Sepanjang hari dalam hati, yang terasa ada
Hanya kesunyian dan semangat pun sudah pergi.
Untuk apa pula harus kuperluas rumah ini?
Tak ada gunanya bicara banyak.
Sebuah ruang tiga meter persegi sudah cukup bagi tubuh.
Sesuap nasi sudah memadai untuk perut.
Selain itu, tanpa keterampilan dan kepandaian apa pun,
Aku dapat bermalas-malas dan dari istana masih menerima gaji.
Aku pun tak menanam pohon buah-buahan
Tidak perlu pula menimbun beras di gudang.
Tetapi setiap hari makan sepuas hati,
Dan berpakaian pantas sepanjang tahun.
Dengan kesadaran begitu, merasa agak malu sendiri,
Untuk apa pula aku harus merasa tak puas


CUKAI YANG TINGGI

Kemarin kutemui tuan tanah untuk membayar cukai
Kuintip dari luar melalui pintu gerbang:
Kain katun dan sutra menumpuk bagaikan gunung;
Benang halus gulung bergulung bagaikan himpunan awan.
Itulah yang disebut ‘barang-barang berlebih’
Yang setiap bulannya diserahkan kepada sang maharaja.

“Kau rampas kehangatan tubuhku
Untuk kepentingan dirimu sendiri!”
Sekali semua barang itu sudah menjadi harta istana
Akan menumpuk begitu saja, dan setelah bertahun-tahun
Menjadi debu tak berguna.


SAJAK KUBUR TUA

Di sela nisan-nisan tua yang tinggi-rendah letaknya
Ada jalan setapak bagi ternak dan biri-biri.
Berdiri sendiri di atas nisan tinggi.
Hatiku bebas lepas!
Waktu memandang ke bawah, ke desa
Tiada apa pun nampak selain ilalang di sawah yang ditinggalkan,
Orang-orang desa itu tak menyukai bunga,
Dan hanya menanam buah berangan dan kurma.
Sejak aku tinggal di desa ini
Tak pernah kusenangi pemandangan macam begini:
Hampir tiada bunga-bunga, kepodang pun hanya satu dua.
Dan kalau musim semi tiba: hampir tak terasa telah tiba.


KETIKA MENGANTAR HSIA CHAN PERGI BERLAYAR

Sebab kau tua dan meninggalkan kami, santapanku pun basah,
Kau yang tak berumah di msa tua, kepunyaan alam bebas
Gelisah kusaksikan angin bangkit kala perahu berangkat,
Seorang lelaki berambut putih tampak di antara ombak-ombak putih.


Abdul Hadi W. M.

No comments:

Post a Comment