PUISI YANG TAK PERNAH SELESAI
Sumenep di siang hari. Seorang perempuan separuh baya
mengayuh sepeda menuju telapak tanganku. Kenangan yang begitu telak
mencipta riak-riak berat di talangan dan menjadi ombak
pada masa kini. Barangkali dia ibuku sepuluh tahun silam
membonceng berkarung-karung garam dan menumpuknya
dalam hatiku. Ah, masih aku ingat jelas senyumnya
yang tak pernah karam, meski sebagai kuli angkut garam
begitu beragam duka menimpa. Panas sampai melarat. Juga keharuan
melihat nasib anak. Ibu, cukuplah aku menjadi pohon siwalan
yang rindang itu. Tempat istirahat itu. Cukuplah aku menjadi hembusan angin
yang menghapus keringat di tubuh kurus itu. Bagi penat dan sakit
yang jauh tersembunyi di bibir itu. Bau garam yang akut
menjerat udara Sumenep. Orang-orang sini telah terbiasa
tersenyum dalam musim dan cuaca buruk. Seorang perempuan tua
menuntun sepeda ke arah gudang. Barangkali itu ibuku
barangkali itu ibumu. Dan sesuatu yang tak aku mengerti
mengeras di telapak tanganku. Berputar dengan kincir angin
mengalir bersama air ke dalam batinku
kemudian menjadi puisi yang tak pernah selesai.
2010
No comments:
Post a Comment