Surat I

Perempuan Berbulu Mata Lentik yang baik,

Tadi malam ayah menghubungiku. Tidak seperti anak lain, aku mulai tidak suka ditelepon orang tuaku. Padahal aku tidak serumah dengan mereka. Aku tinggal di Surabaya sedangkan mereka di Sumenep. Mestinya aku senang, bukan? Karena itu bisa mengobati rasa rindu. Karena kami jarang bertemu. Dan aku pulang setahun sekali, yaitu menjelang Hari Raya Idul Fitri. Tunggu dulu, rindu? Barangkali aku sudah tidak merasakannya.Ini gara-gara beberapa bulan lalu ayah sakit. Pembuluh darahnya menyempit. Beliau perokok berat, sehari bisa menghabiskan dua bungkus rokok. Jika kamu ke rumahku di pagi hari sekali, aku sarankan untuk tidak masuk terlebih dahulu sebelum semua jendela dibuka. Tunggulah beberapa menit baru kemudian melangkahlah masuk. Karena kami tak bisa menanggung biaya pengobatannya, maka kami meminjam uang yang harus kami cicil tiap bulan. Sebulan sekitar Rp. 800.000,00.

Alhamdulillah ayah sembuh sekarang. Beliau sudah bisa bekerja dan membantu ibu jualan di pasar. Ayah yang memasok barang dagangan ibu. Plastik, kresek, dan jajan pasar.

Karena penghasilan mereka kecil, maka mereka kesulitan menyicil hutangnya. Sehingga beban itu dipikulkan sebagian kepada anak-anaknya. Maksudku kakak dan aku. Tetapi kakakku sudah berkeluarga, memang dia belum mempunyai anak. Tapi tanggung jawabnya sebagai suami membuatnya sulit membantu ayah. Sedangkan aku? Aku memang anak kedua.

Tetapi aku tidak mempunyai uang yang banyak. Aku bisa dibilang tidak bekerja. Meski pun tiap bulan ada uang masuk ke kantong. Jumlahnya sedikit amat. Karena beberapa hal lain yang tidak bisa aku sebutkan di surat ini, maka aku harus membantu ayah. Kamu sudah tahu, kan?

Mungkin isi surat ini sebagian besar sudah kamu tahu. Karena aku pernah menceritakannya. Tetapi apa kau tahu, mereka kok ya sempat-sempatnya membangun WC di belakang rumah. aku jadi jengkel. Dan tiap kali ayah telepon, dia selalu membicarakan soal uang kiriman. Sudah dikirim belum? Berapa? Sudah bisa diambil. Brengsek.

Aku pun diliputi kegelisahan setiap handphone ku berdering. Jangan-jangan ayah menelephonku. Apalagi kalau di layar itu tertera nama: Ayah. Aku juga gelisah kalau nomer yang menghubungiku nomer tak dikenal. Aduh!! Kadang-kadang aku tidak mengangkat telepone dari mereka. Aku biarkan saja bergetar.

NB. Aku harus cerita bahwa kuliahku mulai masuk. Minggu kemarin semua dosen, kecuali dosen bahasa inggris menyampaikan latar belakang adanya MK yang mereka ajarkan, kedudukan, keahlian yang dituju sampai pokok-pokok pembahasannya.

Kelasku digabung dengan kelas sebelah. Karena banyak mahasiswa yang keluar karena seleksi alam. Menyenangkan mempunyai kenalan baru. Tetapi aku belum akrab. Aku masih suka mengobrol dengan teman satu kelasku yang dulu.

Katamu, orang tuamu ingin menguliahkan kamu? Memangnya di universitas mana?

1 comment:

  1. Iya aku sudah tahu isi suratmu. Dan aku semakin paham dirimu. Maafkan sikapku beberapa waktu lalu ya.. Sungguh aku menyesal. Aku tidak bermaksud menekanmu.

    Soal rencana kuliahku masih buram. Aku ingin berkarir di pendanaan. Aku ingin maksimal di fotografi. Dan yg pasti,aku ingin berusaha tetap membantumu.

    ReplyDelete