LIASKUN
Oleh Syaiful Bahri
Sebenarnya Liaskun tidak ingin menjadi kaya, meski pun sudah terlalu lama dia hidup di bawah garis kemiskinan, tetapi karena sang istri selalu mengutukinya bila pulang tak membawa uang, maka ingin juga akhirnya. Sebagai seorang penarik becak, pendapatannya sehari-hari memang tak tentu, bahkan, jarang sekali pulang membawa uang. Zaman seperti sekarang ini di mana orang-orang membutuhkan kecepatan, becak tak mungkin menjadi pilihan penumpang, lebih baik pilih bus, lyn (angkot), sepeda motor (ojek) dan kendaraan bermotor lainnya.
Pada suatu malam, dia bermimpi bertemu dengan entah siapa, yang kemudian berkata kepadanya, “Jika kau ingin kaya dengan cepat, Senin siang pekan depan berjalanlah kaki mengelilingi kota, dan jangan lupa kau harus memakai celana dalam wanita—bukan milik istri—sebagai topi.” Liaskun mendadak terjaga malam itu, yakin mimpi itu adalah bisikan setan, maka tak dihiraukannya.
Setelah berjalan beberapa hari, barulah Liaskun sadar semakin berusaha melupakan, dia semakin mengingatnya. Sialnya, mimpi itu selalu datang ketika malam, ketika dia tidur. Tetapi dia tetap menganggapnya bisikan setan dan tak mau mengikuti anjuran itu.
Sementara itu Liaskun masih saja banyak pulang tanpa uang dan tentu istrinya menyambutnya dengan kutukan. Juga hari ini.
“Dasar, suami tak becus. Aku menyesal menikah denganmu!”
Liaskun sebenarnya sudah tak tahan, ingin sekali mendamprat wanita di depannya. Wanita itu sepertinya tak paham bagaimana sulitnya mencari penumpang, Liaskun harus berlari mengikuti bus atau lyn sebelum berhenti di halte, dan menanyai penumpang yang hendak turun, “Mau kemana?” lalu dilanjutkan, “Naik becak, Mbak?” atau “Naik, becak Mas?” Dan pertanyaan itu kebanyakan dijawab, “Tidak, terima kasih.” Dan Liaskun harus melakukannya terus menerus, setiap ada bus atau lyn menuju halte, itu pun harus bersaing dengan penarik becak lainnya. Pekerjaan yang hampir sia-sia, hanya keberuntungan, ah, tidak, lebih tepatnya belas kasihan yang membuatnya mendapat uang. Kalau saja tak ingat janjinya kepada wanita itu, pasti keinginan itu menjadi kenyataan. Karena itu dia memilih berangkat tidur, membiarkan wanita itu mengutukinya. Tak berapa lama kemudian dia tertidur, di dalam tidurnya dia bermimpi itu lagi.
***
Matahari di Surabaya selalu kurang ajar, seenaknya saja menyebarkan panas yang sungguh. Sesaat Liaskun meminum es limun di warung langganannya—terletak di belakang Royal Plaza, dekat pangkalan lyn putih dan yang paling dekat dengan rel yang menuju ke arah Mojekerto—dilihatnya sebuah bus jurusan Bungur-Perak melintas dan pasti akan berhenti di halte depan Rumah Sakit Islam (RSI), Liaskun berlari mengikuti bus itu. Ada dua penumpang turun, ditanyainya, “Mau kemana, Mbak?”, ”Naik becak, Mbak?” Dan perempuan muda itu menjawab, “Tidak, terima kasih.” Ganti orang, lalu ditanyainya juga, “Mau kemana, Mas?”, “Naik becak, Mas?” Dan lelaki muda itu menjawab, “Tidak, terima kasih.” Liaskun berjalan gontai menuju warung.
Sudah siang begini Liaskun masih belum mendapatkan uang sepeser pun, padahal sudah berangkat pagi benar. Dia pikir dengan berangkat pagi-pagi sekali—waktu angkutan umum banyak yang belum narik—kemungkin besar bisa mendapatkan rezeki cukup hari ini. Tapi kenyataannya? Tak sepeser pun. Sepertinya dia akan pulang dengan tangan hampa lagi hari ini. Kalau begini terus, bisa-bisa dia akan mati kelaparan. Pasti sudah tak ada uang di rumah, pikirnya. Uang tabungannya pastilah sudah habis, tabungan yang sebenarnya untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Negeri Surabaya, ditabung sejak masih SMP sampai lulus SMA, tapi cita-cita itu harus dia kubur dalam-dalam ketika memutuskan menikah.
Sesungguhnya dia tidak ingin menikah dengan istrinya. Dia mencintai wanita lain. Tapi melihat sahabatnya—istrinya itu—bercerita bahwa sedang hamil dan pacarnya—yang menanam benih—tak mau bertanggung jawab, dan tak tega membayangkan wanita itu dimarahi dan mungkin dipukuli orangtuanya, juga memikirkan nasib nama baik wanita itu di mata orang, maka Liaskun memutuskan menikahinya.
Awalnya wanita itu tak mau, karena dia tahu Liaskun adalah orang miskin, belum punya kerja pula. Tapi setelah dijelaskan bagaimana dampak kalau tak mau menikah dengannya—keputusan harus diambil dengan cepat, sebelum perutnya tahu-tahu mulai membesar—dan bahwa dia punya tabungan cukup banyak, maka wanita itu mau juga akhirnya.
“Saya berjanji akan membahagiakanmu.”
“Tapi kamu? Kamu kan tidak mencintaiku?”
“Sudahlah, cinta bisa tumbuh.”
***
Rumahnya terletak di Jalan Ketintang. Sudah sangat reot. Kesan sangat miskin memancar dari bilik, atap, lantai, jendela, pintu, seluruh bagian rumah itu.
Liaskun pulang tanpa uang lagi.
“Suami tak becus kau. Katanya mau membahagiakanku? Mana buktinya? Ngasih makan saja untung-untungan.”
Liaskun membiarkan sang istri mengutukinya, walau pun ingin sekali mendampratnya, dia tetap memilih berangkat tidur. Tak berapa lama kemudian dia tertidur, di dalam tidurnya dia bermimpi itu lagi, hanya saja perkataan orang yang ditemuinya bertambah, “besok sudah hari Senin, anak muda!”
Liaskun bangun bagai barusan mimpi buruk. Disambut oleh kutukan sang istri, “Bisanya cuma tidur!” Liaskun benar-benar tak tahan lagi.
***
Liaskun menyesal, dia baru saja menampar sang istri. Padahal dia berjanji akan membahagiakannya, bukan menampar, kayak pejabat saja. Terdorong penyesalan yang dalam, dia ingin memenuhi janji itu. Segera.
Maka Liaskun pun berencana mencuri celana dalam wanita. Tak terpikirkan lagi, bahwa dia pernah yakin, mimpi yang sudah beberapa hari ini menghantuinya adalah bisikan setan.
***
Liaskun mengendap-ngendap menuju tempat jemuran tetangganya, dia tahu tetangganya itu punya anak gadis, ah, celana dalam emaknya juga tak apa. Di tempat jemuran itu, memang ada kemeja, celana, kaos, kaos kaki, dan lain-lain, tapi tak ada satu pun celana dalam. Mungkin tetangganya ini sangat hati-hati pada benda yang satu ini, sudah banyak desas-desus kegunaan celana dalam wanita untuk hal-hal yang berbau mistis.
Karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan, Liaskun masuk ke rumah tetangganya tersebut, lewat jendela yang kebetulan sedang terbuka. Penghuninya kemungkinan besar sudah terlelap
Dia langsung menuju kamar, di dalam kamar tersebut dia mendapati seorang gadis sedang tidur pulas. Dia lantas menuju lemari pakaian, baru saja memandang lemari itu, dia melihat ada seseorang yang sedang membuka pintu lemari. Gawat, lelaki itu mengetahui keberadaannya, mungkin dia adalah ayah si gadis. Orang itu mendekat, kemudian memukulnya, bug, untung Liaskun pernah ikut karate, pukulan tadi ditangkisnya, lalu orang itu dia banting. Bug. Orang itu berdiri lagi, kemudian memukulnya, bug, pukulan ditangkis lagi, dan orang itu dibanting lagi. Bug. Orang itu berdiri kembali, kali ini orang itu menendangnya, bug, tendangan itu ditangkis, dan orang itu kena banting kembali. Sepertinya orang itu tahan banting, orang itu berdiri kembali dan menendangnya, bug, tendangan ini juga ditangkis, dan baru saja Liaskun akan membanting, si gadis bangun.
“Maliiiiiiiiing.”
***
Liaskun sudah akan berkeliling kota dengan celana dalam wanita sebagai topi. Tadi malam, secara tidak sengaja dia menyelamatkan emas tetangganya itu, lelaki yang dibantingnya tadi malam ternyata adalah maling, bukan pemilik rumah seperti perkiraannya. Dan tetangganya itu berterima kasih karena sudah membekuk maling itu. Padahal dia juga maling, maling celana dalam. Bedanya, lelaki itu sudah dan dia baru akan mencuri.
Karena sangat emosi, tetangganya tersebut membangunkan tetangga lainnya, tak heran, maling itu habis dipukuli massa, nah, waktu pemilik rumah asik mengadili maling itu, dia mengambil satu celana dalam si gadis. Beberapa saat kemudian Pak RT datang, dan menenangkan massa, untung saja si maling belum mampus.
Liaskun baru saja melangkah keluar rumah, ada suara tertawa, “Hahaha, gila.” Liaskun malu, tetapi ketika teringat janji kepada sang istri, malu tak dipedulikannya lagi. Dia terus melangkah, melangkah mengelilingi kota. Memang tambah banyak orang yang tertawa kepadanya, “Hahaha, gendeng.” Tetapi tak dipedulikannya, di kepalanya hanya ada: membahagiakan istri.
***
Besoknya, ada seseorang yang membeli becak Liaskun dengan harga Rp. 75 juta, aneh, tapi begitulah kenyataannya. Dengan uang itu, dia membangun Rental Play Station (PS) Liaskun, tanpa memakan waktu lama, banyak orang bermain PS di rentalnya. Ramai sekali.
Liaskun mendadak kaya.
Istrinya mengaku sangat bahagia menikah dengannya. Sikapnya menunjukkan kalau dia tak pernah mengutuki sang suami. Liaskun senang.
***
Dunia ini memang bundar, habis siang muncullah malam, juga habis kebahagian muncullah kesedihan. Begitulah dunia, mungkin begitulah keadilan Tuhan dijalankan. Kebahagian Liaskun luntur, karena teringat mimpi yang menjadikannya kaya mendadak, tak lain adalah bisikan setan. Liaskun menceritakan semuanya kepada sang istri.
“Dasar, suami syirik.” Sang istri kembali mengutukinya, hampir setiap hari. Liaskun marah, padahal semuanya terjadi sebagian besar karena sang istri, ingin sekali mendampratnya, tetapi dia teringat janji itu.
Sementara itu usia terus menggerogoti tubuhnya.
Pada suatu malam, Liaskun bermimpi bertemu dengan entah siapa, yang kemudian berkata kepadanya, “Jika kau ingin masuk Surga, Jum’at siang pekan depan berjalanlah kaki mengelilingi kota, dan jangan lupa kau harus memakai kutang—bukan milik istri—sebagai kacamata.”***
(Surabaya, April-Mei 2010. Untuk teman saya, Lias. Di dalam mewujudkan cita-cita, ada jalan salah dan benar, pilihlah yang benar meski lebih sulit, saya siap membantu.)
No comments:
Post a Comment