Di Kota Surabaya
[1]
Nah akhirnya kami bertemu kembali di sini, di kos-kosan ini
Di Kota Surabaya. Kami saling menatap tanpa mengedip
Seakan-akan mata kami tak perlu lagi dibasahi oleh airmata
Banyak hal yang telah berubah karena sang waktu
Kini sepasang gunung telah menjulang di dadanya
Ah, cinta mungkin seperti gempa, melipat kulit bumi
Kini tubuhnya makin dipenuhi tikungan tajam
Menghujam naluri lelakiku untuk balapan di sana
Jemari tanganku pun berubah menjadi Fiat Yamaha
Kini rambutnya makin sempurna memasuki malam
[2]
Betapa menakutkannya berkelahi dengan kesendirian
Segalanya malam dan sepi—tanpa suara kerik jangkrik
Dan desis ular. Meski dunia ini begitu terang
Penuh lampu merkuri, penuh kedip lampu hias, penuh sorot
Bioskop dan gedung-gedung tinggi. Hanya kepada tuhan aku mengadu
Kecuali tuhan. Meski dunia ini begitu berisik
Penuh jerit rakyat yang tertahan, penuh tangis korban bencana
Yang masih nelangsa, penuh gemelutuk tulang dan tawa
Yang berlebihan. Hanya kepada puisi aku mengadu
Hanya kepada tuhan aku mengeluh. “Bagaimana dengan kesediriamu?”
[3]
Lalu dia pun memaki ke arah wajahku, “Jancok, ke mana saja kau!”
Aku membalas, tak kalah keras, “Asu, kau yang ke mana saja!”
Burung-burung berkicau dari telepon genggam. Menebarkan aura pagi
Yang menyenangkan. Ibu-ibu bergurau sambil membeli sayur. Sesekali memaki
Sesekali tertawa. Berbicara tentang artis yang ingin menjadi pejabat pemerintah
Pertarungan cicak dan buaya sampai aksi demonstran di depan Bank Century
Di Jalan Kertajaya. “Jancok,” katanya. “Asu,” balasku. Lalu kami tertawa
Memang bagi kami memaki adalah cara menunjukkan kasih sayang
[4]
Di Kota Surabaya, jauh di dasar tubuhku
Kenangan bangkit dari kematian yang panjang
Dan seperti kembali ke masa lalu. Kami telusuri lagi Jalan Darmo
Terminal Joyoboyo, Darmo Trade Center sampai Royal Plaza
Dengan berjalan kaki. Tali sandalnya putus di tengah jalan
Lalu kami tambal dengan Handsaplas, “Seperti luka,” katanya
Aku tak langsung menjawab dan kembali melangkah. Sedangkan dia
Berjalan seakan-akan dengan kaki yang sakit. Tetapi kami tetap beriringan
“Di dalam cinta, tak usahlah dipedulikan,” lanjutnya sambil memegang
Tas ranselku. Tali sandalnya kembali putus. Kami benahi lagi luka itu
“Sebab kau dan aku harus tetap menjejak, menembus waktu, bukan?” kataku
Dia menjawab dengan sebuah anggukan. Genggamannya semaikn erat di tas ranselku
[5]
Dan kami berjanji akan menjaga kenangan masa remaja
Kami juga berjanji akan mencipta kenangan demi kenangan lain
Yang lebih madu. Seperti taman-taman dan air mancur
Di Kota Surabaya. Apa yang kami rasakan di dunia ini
Hanyalah soal syaraf tubuh. Luka akan kami teguk bersama
Begitu juga dengan tawa. Seperti para Bonek ketika mendukung Persebaya
Seperti penyair ketika menulis puisi dengan susah
Kami pun berjanji akan merayakan hasil atas program kerja itu
Di Jembatan Merah. Sebagai foto pre-wedding. Ah, begitulah
Pidato-pidato kami di Gelora Sepuluh November, di Tugu pahlawan
Sampai di Gelora Pantjasila. Seperti calon pejabat pemerintah
Apakah masih perlu membagikan kaos bergambar wajah kami
Apakah masih perlu menempel foto kami di pohon-pohon, di pinggir jalan
Di udara. Agar kami terpilih sebagai pasangan paling romantis
2010
(Selamat ulang tahun ke 717 Surabaya, semoga mendapat Walikota dan Wakil Walikota yang baik)
bagi kamu2 yang suka dengan design grafis, silahkan kunjungi http://abdoelcharies.blogspot.com/ ada berbagai software desing grafis, office, antivirus, dan juga windows 7, semoga bermanfaat...
ReplyDelete