Cerpen

Anisa

Jika memang kenangan tidak bisa dimusnahkan, bukan berarti kenangan tidak bisa diciptakan.

Sebuah suara melenting di antara batu-batu karang Pantai Kenjeran, mengapung bagai perahu kecil kemudian tenggelam dalam debur ombak bergaram. Suara itu seperti getar enam senar gitar, merdu, dan mustahil membungkam mulutnya[1], mungkin karena diam-diam saya mencintainya. Itu adalah suara seorang perempuan dari masa lalu saya, rambutnya cuma satu, kerudung seluruhnya.

Sudah berapa waktu saya berusaha melupakannya, setelah Terminal Purabaya menjadikan pertemuan saya dengannya tak lebih seperti bertamu saja. Berbincang tak tentu arah, minum secangkir kopi atau teh dan ngemil kacang goreng. Tapi begitu membekas dan bersarang dalam kepala. Kemana pun saya lari, dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari pulau ke pulau lain, tetap saja suara perempuan itu saya dengar. Dan tentu dada ini menjadi gemetar.

Tetapi pelarian saya berakhir dengan hasil yang cukup memuaskan, setidaknya saya sadar bahwa bagaimana mungkin lari dari kenangan itu, selalu ada ruang, selalu ada peluang untuk tetap tersimpan, meski hanya liang dalam pikiran, dan sekarang saya berusaha menjaga riang. Sisanya hanya kegagalan.

"Mesti menyelam ke dasar laut." Begitu ucapnya sepuluh tahun silam, ketika kami masih remaja yang begitu yakin bahwa cinta tak perlu dibahasakan melalui kata, cukup dengan gerak tubuh, segalanya sudah menjadi jelas. Tetapi keyakinan itu terbentur kenyataan bahwa pengetahuan kami tentang bahasa tubuh demikian kurang.

Perempuan itu sangat rapuh seperti bunga. Anisa, demikianlah namanya. Jika ada sedikit saja angin nakal menyuirnya, maka kelopaknya akan jatuh, putik dan keharumannya juga akan rontok bersamaan. Apa sebabnya saya tidak begitu tahu, mungkin saja karena ayah dan ibunya selalu membentengi dirinya, sehingga dia terbiasa dengan kenyamananan. Orang tua dia tentu keliru. Kondisi kehidupan tak mungkin bisa terus-terusan menjaganya dari masalah. Apalagi sebagai pegawai PLN, ayahnya sering keluar kota, juga ibunya sudah teramat renta.

***

"Jangan bicara," katanya.[2] Padahal saya tidak bicara sepatah kata pun. Kecuali gerakan tangan menggandeng tangannya yang halus, sambil berjalan menyusur Pantai Kenjeran yang kotor, tetapi tetap terlihat indah bagi kami. Apakah Anisa dapat menangkap maksud saya, saya tidak yakin. Ketika itu Anisa hanya membalas dengan sebuah ciuman. Dan saya juga tidak begitu yakin apa maksudnya. Sepertinya, kami hanya mengumbar bahasa tubuh, tanpa bisa menangkap maksud.

Maka saya pun terpaksa bicara, bukan tentang cinta. Tetapi tentang sebuah impian: membangun sebuah rumah kecil yang menghadap ke arah pantai. Rumah itu tentu akan ramai dengan suara debur ombak, dengan warna kecoklatan tetapi selalu terlihat biru di mata. Dan saya ingin memperlakukan tubuhnya seperti laut, tiap hari saya memakai baju khas nelayan dan melayarinya setiap malam, menjaring atau memancing ikan, dan sekali waktu saya ingin menyelam, demi melihat kehidupan di bawah sana. Saya juga ingin dia memperlakukan saya sebagai seorang nelayan.

Tetapi masih saja sepertinya Anisa tidak dapat menangkap maksud saya, bahwa itu ajakan hidup berdua, berdua saja.

Rupanya Anisa sadar bahwa dia tidak dapat menangkap maksud saya. Tetapi Anisa tetap ingin mempertahankan bahwa cinta tak perlu dibahasakan melalui kata. Maka dia diam. Saya pun diam.

Setelah dua tahun berlalu, saya sadar, cinta tanpa jalinan komunikasi atau tidak komunikatif lebih luka ketimbang cinta yang ditolak, jelas dan dapat dicerna, tapi kalau begini?

Dalam kesadaran itulah saya memutuskan untuk berpisah. Masih saya ingat dengan jelas bagaimana Anisa menangis, seperti hujan yang jatuh sekalian dengan langitnya itu[3]. Bahu, lengan dan beberapa bagian tubuhnya kuyup karena air mata dia sendiri. Saya merasa kasihan, tetapi saya harus tetap meninggalkannya.

***

Mesti menyelam ke dasar laut, sebab hanya di sana seluruh tak bersuara, tak butuh kata. Terumbu karang, cumi-cumi dan lumba-lumba akan mengajarkan bahasa tubuh begitu sempurna." Begitu ucapnya sepuluh tahun silam.

Tetapi dimana Anisa sekarang. Di pinggir Pantai Kenjeran, di batas pasir yang dikecup ombak, yang sepintas dan lepas lagi[4], saya meratapi perpisahan ini seperti raung serigala hutan, lapar akan sekerat daging di tengah segala hujan.

Dulu Anisa selalu berjalan di sana, menoleh pada saya, dari gerak-geriknya, dia seperti mengundang saya untuk mengejarnya. Meski apakah memang benar begitu, saya tidak begitu yakin. Nyatanya saya mengejar dan dia lari menjauh. Saya mengejarnya tanpa niat menangkap, jika saya sudah dekat dengan batang tubuhnya, saya memperlambat lari saya, tubuhnya menjauh. Saya mengejarnya lagi tanpa niat menangkap , jika sudah dekat lagi dengan batang tubuhnya, saya memperlambat lagi lari saya, tubuhnya menjauh lagi. Demikian seterusnya, sampai akhirnya kami lelah.

"He he he, kamu tak bisa menangkap saya."

Kadang-kadang Anisa berdiri di sebelah sana. Di sana itu, Loh. Tentu saja karena kedalaman di sana, tubuhnya terendam sampai setengah. Mungkin dia suka merasakan gelombang mendorong tubuhnya sambil memandang jauh, dimana laut melengkung ke arah bawah.

“Mesti menyelam ke dasar laut sebelum cinta yang membuat kita mampu bernafas bagai ikan kehilangan gairah dan tenaga gaibnya,” katanya.

“Benarkah menyelam ke dasar laut akan membuat cinta awet? Dan apakah memang cinta membuat kita mampu bernafas bagai ikan?”

“Ya, kenapa tidak? Bahkan kegelapan dasar laut akan menjadi terang benderang karena cinta.”

Saya masih duduk di pinggir Pantai Kenjeran. Melihat senja turun ke permukaan air laut.

Saya pikir, barangkali saya harus mencoba menyelam ke dasar laut.

***

Jika memang sebuah kenangan tidak bisa dimusnahkan, itu berarti kenangan tidak bisa diubah, kenangan hanya bisa diciptakan, hanya diciptakan.

Pagi tiba. Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba saya berada di Stasiun Wonokromo. Stasiun sudah cukup ramai. Sebuah kereta kelas ekonomi sebentar lagi akan masuk di jalur satu. Banyak penumpang yang sudah berdiri di tepi, dengan tatapan sekilas saya bisa menangkap bahasa tubuh mereka. Misalnya perempuan berkaos merah dan berambut pirang itu, sedari tadi dia menyisir rambut dengan tangannya sendiri, kakinya menyilang dan kepalanya sedikit miring, dia seperti berkata kepada saya, “Saya akan menemui kekasih saya, apakah saya sudah terlihat cantik?”

Suara itu kembali terdengar, kali ini melompat dari bangku ke bangku lain. Berlari dari pintu masuk ke pintu keluar. Kadang-kadang berdiri di lintasan rel, seperti menyambut kereta.

Saya ingin sekali menemui Anisa, mengajaknya jalan-jalan mengelilingi Kota Surabaya, berdesakan dalam bus, memasuki berbagai toko buku, bersorak liar seperti Bonek, dan akhirnya makan malam di pinggir jalan, tanpa berkata apa-apa. Saya ingin menciptakan kenangan yang cukup indah bagi bulu matanya yang lentik.

Saya pun membeli karcis komuter tujuan Sidoarjo. Meski sepenuhnya saya sadar saya tidak pernah berjanji di mana dan kapan saya akan kembali menemuinya.



Gresik, Februari 2011

[1] Petikan dari puisi Federico Garcia Lorca, La Guitarra.
[2] Petikan dari cerpen Seno Gumira Ajidarma, Linguae.
[3] Petikan dari puisi Pablo Neruda, Soneta ke berapa saya lupa.
[4] Petikan dari puisi Moh. Anwar, Lecutan-Lecutan.

No comments:

Post a Comment