Sakit

SAKIT
Cerpen Syaiful Bahri

DAN penyakit itu menyerangku. Aku pun merasa tubuhku sedang sakit. Seperti dililit seekor ular, punggungku terasa sangat ngilu. Seluruh persendianku berbunyi. Nyaring. Dan mungkin saja, aku telah tersengat bisanya. Bisa beracun, yang sanggup membunuhku hanya dalam hitungan jam. Tetapi ini bukan masalah seperti ular atau bisa beracun. Hanya saja ketika aku bercermin, aku melihat ada tulang yang menonjol dari wajahku.

Aku yakin semua manusia menderita karena sakit. Sehingga, yang menjadi inti persoalan adalah bagaimana menyembuhkannya, bukan apa nama penyakitnya, apalagi kenapa bisa sakit. Dan siapa pun yang sakit, harus pergi ke dokter, jika ingin sehat kembali. Tidak terkecuali dokter itu sendiri, begitu juga aku. Tetapi sekarang bukan waktunya aku pergi ke rumah sakit.



Sebab inilah pertemuan pertamaku dengan Anisa, setelah tiga tahun berpisah. “Ibu dan adikku sedang keluar jalan-jalan sambil cari makan,” katanya. “Kalau ayah sedang bertugas ke Bali,” tambahnya, dengan suara yang bergetar. Aku melihat dia semakin cantik saja dan dia juga melihatku dengan penuh takjub. Dia duduk tepat di depanku. Sambil menyisir rambutnya dia berkata, ”Akhir-akhir ini aku sering marasa sakit.”

Aku tak menjawab dan berjalan mondar-mandir, melihat keadaan rumahnya. Karena sakit, cara berjalanku terhuyung-huyung. Seperti orang mabuk. Setelah beberapa kali bolak-balik dari ruang tamu ke dapur, aku jadi tahu, ketika otakku memeritahkan kaki kiri untuk bergerak, kaki kananku lah yang bergerak. Sekarang aku bisa menduga bahwa hal itu juga terjadi di seluruh tubuhku, tak terkecuali tangan. Dan memang begitu kenyataannya.

Aku mencoba menyesuaikan diri. Bagaimana pun juga kerja otak kanan dan otak kiri ku adalah seimbang. Oleh karena itu, aku pandai bermain alat musik. Gitar, piano, harmonika atau pun drum. Bermain drum, kau tahu, adalah hal paling sulit untuk dilakukan oleh orang yang otak kiri dan kanannya tidak seimbang. Dan aku bisa memainkannya dengan sangat baik. Bahkan, aku bisa bermain gitar seperti orang kidal. Karena itu, aku cepat menyesuaikan diri. Aku sudah bisa berjalan normal!

Anisa masih menyisir rambutnya. Salju turun di atas meja. Kemudian dia berkata, “Apa kamu masih mencintaiku?” Aku jawab, “Ya.” Dia membiarkan sisir itu menggantung di rambutnya, kemudian berkata, “Apakah kamu masih bersedia menjadi calon suamiku di dalam sehat dan sakit? Meski pun ternyata masih banyak sakitnya?” Dan aku mendengar kibasan sayap-sayap waktu terbang di seluruh rumah. Aku jadi mengerti kenapa dia lekas beranjak tua, maksudku dia terlihat lebih tua ketimbang aku, padahal kita seumuran. Sambil melihat potret Anisa yang dipajang di dinding, aku menjawab, “Begitu juga aku.” Dia kembali menyisir rambutnya.

Dia mendekatiku dan aku menjauh. Aku takut dia tertular penyakit ini. “Kenapa kamu menjauh?” Tanyanya sambil merengut. “Kadang-kadang aku berpikir berjauhan itu baik. Sehingga jarak di antaranya bisa aku isi dengan rindu,” jawabku. Lalu dia semakin merengut, kemudian berkata, “Tetapi bukan berarti berdekatan itu buruk. Karena tak ada jarak di antara kita, maka tenaga cinta kita bisa mengalir.” Kujawab, “Aku masih ingin menikmati rinduku kepadamu. Dan merasakan rindu itu semakin lama semakin luruh.” Mata Anisa berkaca-kaca lalu dia berkata, “Seperti orang sakit menjadi sembuh?” Aku mengambil gelas dan menuangkan seluruh isinya ke mulutku. “Bukan, justru sebaliknya.” Mata Anisa semakin berkaca-kaca, entah apa yang dia tangkap dari perkataanku.

Anisa masih seperti dulu dan aku bisa melihat dia seperti bunga, yang apabila ada sedikit saja angin nakal menyuirnya, maka seluruh kelopak, putik sampai tangkainya pasti akan amblas. Sampai aku berada di dekatnya, dia masih menekuk wajah, bisa kurasakan bunyi gemericik jiwa yang sekarat dari dalam tubuhnya itu. Aku harus hati-hati dalam bersikap.

Karena kalau dia sedang begitu sedih, maka dia akan menangis sekeras-kerasnya, berguling-guling dan berteriak-teriak tak jelas. Persis anak kecil. Nanti orang-orang yang melihatnya jadi tertawa, dan mereka akan menganggapku tak bermoral, karena sudah melakukan penipuan terselubung terhadap anak keterbelakangan mental! Bahkan pada titik kesedihan tertentu—lebih sedih lagi, bukan saja bikin malu, tetapi juga bikin aku bingung mau ditaruh di mana mukaku. Jangan sampai itu terjadi, apalagi kalau banyak gadis lain lewat. Soalnya, aku jadi tak bisa memamerkan wajahku kepada mereka.

Dering ponsel berbunyi, kemudian matanya tertuju kepada layar ponsel itu. Mendadak wajah cantiknya semakin tenggelam dalam kesedihan. Aku mendekatinya, tetapi tetap menjaga jarak. Sedapat mungkin aku berusaha tidak bersetuhan. Karena mungkin saja penyakitku bisa menular melalui sentuhan. Kemudian aku bertanya, “Kenapa? Apa ada masalah? Apa perlu aku bantu, paling tidak aku bisa menjadi pendengar yang baik.” Nada bicaraku datar, tidak seperti yang aku harapkan.

Anisa menangis. Aku merasa kehilangan wibawa berhadapan dengannya kali ini. Dan merasa sakitku semakin parah.

Aku jadi tak berani melihat Anisa. Dia masih menangis. Tetapi otakku memberitahuku bahwa dia tidak menangis. Aku mesti bisa membedakan antara tubuh dan bayang—ini pasti akibat sakit yang kuderita semakin parah, dan sekarang penyakit sialan ini menyerang otakku. Aku harus bertahan. Di samping itu, aku juga harus berusaha menghibur Anisa.

“Ayah sedang jatuh sakit. Sekarang dia dirawat di rumah sakit di Bali sana,” katanya.

Ketika dia selesai mengatakan hal itu, barulah aku berani menatap matanya. Jauh di kedalaman matanya, aku melihat seekor monyet. Aku pikir monyet itu hanya bayang, meski pun terlihat begitu nyata, tapi aku tak begitu yakin. Anisa masih menangis. “Ayahmu tidak sakit, An. Ayahmu sering tergoda untuk melakukan korupsi, karena rayuan pimpinannya, begitu juga dengan rekan kerjanya. Ayahmu sering bernafsu ketika melihat gadis berseragam sekolah. Memang beliau selalu bisa menahannya. Akan tetapi beliau juga sering ingin membunuh orang yang melakukan kesalahan dalam bekerja. Orang yang melakukan kesalahan itu pun ingin berbuat sama kepada ayahmu. Aku pikir, justru sebaliknya, dia sedang sehat,” kataku. Entah kenapa aku berkata begitu. Anisa mematung, dia mengambil sehelai tisu dan berkata, “Apa kamu sedang sakit?” Lalu dia menangis kembali. Sehelai tisu yang dia pegang, dia taruh di atas meja.

“Tidak. Aku hanya sedikit capek dan kurang tidur.” Jawabku. Dia tak menjawab. Dan aku mengulang kembali jawabanku, tetapi kali ini aku sambil bertanya “Aku hanya sedikit capek dan kurang tidur. Apakah kamu memelihara seekor monyet di matamu?” Sekarang dia mengusap air mata dengan tisu tadi seperti mengeringkan sungai kembar. “Apa aku yang sedang sakit? Tetapi aku yakin tidak memelihara seekor monyet di mataku.” Kujawab, “Iya, kadang-kadang kamu sakit. Biasanya ketika kamu sedang sedih apalagi pada titik kesedihan tertentu.” Anisa mengambil tisu lagi dan mengusap air matanya.

Aku mengulurkan selembar tisu untuknya, setelah tahu tisu yang dia gunakan telah basah kuyup. “Aku merasa monyet itu lah yang menyebabkan kamu menangis.” Dan tangan kecil itu kembali menyeka air matanya. Gerakan tangan itu, Dimulai dari bagian pipi menuju mata, begitu telaten, sehingga tampak tanpa kesalahan. “Aku tidak memelihara seekor monyet di mataku,” katanya.

Tetapi air mata Anisa tak mau berhenti. Mengucur terus, seperti hendak mengeluarkan semua cairan tubuhnya. Sudah lima helai tisu basah kuyup. “Aku ingin menampung air mata ini saja. Tolong ambilkan ember itu,” katanya. Kutanyakan buat apa. Dia menjawab, “Aku hanya ingin menampungnya.”

Kalau saja sakitku ini tak bertambah parah, aku sudah mengabulkan permintaannya. Karena aku tahu, kalau dia tak dituruti, hal yang tak diinginkan akan segera terjadi. Tetapi aku sudah tak bisa melawan penyakit aneh yang kuderita, karena otakku sudah tak bisa aku kendalikan. Sehingga semua tindakanku selanjutnya, sebenarnya bukan ulah atau tanggung jawabku, tetapi penyakit ini.

Sekarang aku hanya memiliki keinginan, tetapi tidak bisa memenuhinya.
Memang tubuhku berjalan ke arah ember yang ditunjuk Anisa dan membawanya, tetapi itu di luar kendaliku. Kemudian tanganku menaruh ember itu di antara kedua kaki Anisa. “Keluarkan saja seluruh air mata kamu, biar kamu tak lagi mengenal kesedihan.” Mendengar perkataan mulut dan lidahku, air mata Anisa semakin mengucur deras. Dalam sekejap ember itu pun terisi seperempat dari daya tampungnya. Di antara tangisnya, dia masih sempat berkata, “Tetapi kesedihan tak membutuhkan air mata, untuk menjadikan seseorang sakit.” Sebenarnya, aku ingin berkata, “Benar sekali pendapatmu, Anisa. Tetapi jangan sampai itu terjadi. Karena kamu terbuat dari unsur air dan api.” Tetapi mulut dan lidahku malah berkata, “Itu tidak mungkin.”

Kini, tubuhku memunggungi tubuh Anisa, tanganku memegang erat pundaknya. “Kalau tidak percaya, biar aku tunjukkan kepadamu.” Dan mulut bersama lidah kurang ajar itu mendekat ke telinga Anisa, “Sebenarnya, aku tak mencintaimu. Aku hanya pura-pura mencintaimu.” Aku ingin melawan dan menuntut balas kepada penyakit yang kurang ajar ini. Tetapi aku tak bisa melakukan apa-apa.

Akhirnya, sesuatu yang tak aku inginkan terjadi juga. Anisa menangis sekeras-kerasnya, berguling-guling, kemudian berteriak-teriak tak jelas. Para tetangga yang melihatnya jadi tertawa, dan masuk ke dalam rumah masing-masing, kemudian berbisik-bisik. Aku bingung mau ditaruh di mana mukaku. Akan tetapi mulut dan lidahku malah berkata, “Bagus. Bagus. Bagus.”

Aku masih tak bisa melakukan apa-apa. Sudah berulangkali, aku mencoba melawan penyakit ini dengan menggunakan keinginan. Hasilnya sia-sia saja. “Air matamu hampir habis,” kata mulut dan lidahku. Hal itu membuatku terharu, Anisa sudah menangis selama tiga jam. Tanpa henti. Air mata yang tertampung sudah lima ember penuh. Yang tak tertampung juga banyak. Tubuhku bergetar. Getar yang sangat aku kenal, getar itu biasanya pertanda aku sedang senang. “Sebentar lagi. Sebentar lagi.”

Kemudian aku merasa senja turun di langit-langit rumah ini. Senja meremang dan gugur daun kamboja di halaman. Sunyi. Hanya suara bisik-bisik tetangga. Beberapa ketukan sepatu mendekat. Kuamati seluruh suara tadi seperti rumah sakit, tetapi bukan sembarang rumah sakit, ini lebih putih, bersih dan harum yang tak bisa dicium. Ketukan sepatu semakin mendekat.

Pintu rumah terbuka. Ibu dan adik Anisa masuk dan mendapati dengus napas Anisa telah hilang, begitu juga ketukan ritmis di jantungnya. Tak ada lagi suara tawa dan bisik-bisik yang berasal dari tetangga. Hanya ada sisa tangis yang mendesis di antara teriakan matahari. “Dia sudah benar-benar sembuh,“ kata mulut dan lidahku kepada mereka—masih di luar kendaliku. Mereka, ibu dan adik Anisa, tiba-tiba menampakkan wajah sedih. Wajah sedih yang tak biasa, karena menahan perasaan, sebelum pada akhirnya mereka berlutut, kemudian hampir secara bersamaan berkata, “Tetapi kenapa harus sekarang?” Dan ibu Anisa meletakkan dahinya ke permukaan lantai rumah, “Karena, tadi aku mendapat kabar bahwa suamiku juga sudah benar-benar sembuh.” Dia bangkit dan menatap mataku dengan tajam, “ Bagaimana caranya aku dan anakku bisa menjalani penyakit ini?”

Tubuhku mematung, dia menyadari ada sesuatu yang keliru. Dan aku ingin sekali berkata kepada mereka semua, “Lihat itu! Ada seekor monyet di dalam mata Anisa dan monyet itu sedang tersenyum.” Tetapi mulut dan lidahku tak bergerak(*)

Surabaya, April 2011


No comments:

Post a Comment