Secarik Surat Anisa

SECARIK SURAT ANISA
Oleh Syaiful Bahri

KERETA JAYA baru saja meninggalkan Stasiun Boglo. Mula-mula tubuh Kereta Jaya masih terlihat dari Stasiun Boglo, akan tetapi semakin lama tubuh Kereta Jaya semakin hilang. Begitu pula suara Kereta Jaya yang mula-mula masih terdengar dari Stasiun Boglo, secara perlahan amblas. Dua orang berpakaian toxedo masih berdiri di peron Stasiun Boglo, mereka melihat ke arah rel yang menelan tubuh Kereta Jaya dengan tatapan kecewa. Tidak hanya karena ketinggalan kereta, mereka juga kecewa karena gagal menangkap Anisa.



Di dalam Kereta Jaya, Anisa berjalan mencari tempat duduk yang kosong. Cara berjalannya seakan-seakan tidak menjejak tanah, ringan dan luwes, menyebabkan pinggulnya bergerak bagai perahu diombang-ambing ombak. Dia berjalan dari gerbong satu ke gerbong lain. Setelah sampai di gerbong lima, dia menemukan tempat duduk yang kosong, tetapi dia tidak langsung duduk, demi memandang seorang lelaki yang duduk di depan tempat duduk yang kosong itu. Cukup ganteng, pikirnya. Baru saja Anisa akan duduk, tiba-tiba seorang wanita menyerobot. Anisa mengalah dan terus berjalan. Anisa terus berjalan. Ketika sampai di samping tempat duduk seorang lelaki berambut pirang, Anisa berhenti, kebetulan tempat duduk di depan lelaki itu juga kosong. Setelah saling bertukar pandang, barulah Anisa duduk.

Jarak antara Stasiun Boglo—yang berada di Nuala—dan Houja memang sangat jauh. Jika kecepatan Kereta Jaya tetap, yaitu dengan kecepatan rata-rata 10 Km/jam dan tidak ada gangguan berarti, maka Kereta Jaya akan sampai di Stasiun Kouja dalam 10 jam. Stasiun Kouja adalah satu-satunya stasiun di Houja. Mungkin untuk mengusir bosan atau barangkali kantuk—yang menjadi masalah laten bagi siapa pun dalam perjalanan jauh—maka Anisa memulai pembicaraan—meski cara ini seringkali berhasil hanya untuk sementara waktu.

“Namaku Clara.”
“Namaku Darma.”
“Nama yang benar-benar payah.”
“Yah, itulah namaku.”
“Mungkin kau harus mengganti nama.”
“Mungkin.”

Perbincangan mereka ternyata berlangsung lama dan cair. Dari perbincangan yang berlangsung hampir setengah perjalanan itu—setengah perjalanan lain habis karena tidur, ngemil, baca buku dan diam—Darma tahu kalau wanita di depannya akan berlibur ke Houja, kota yang seakan-akan mengapung di atas laut. Jika di kota-kota lain angkutan umum adalah bus, taksi atau angkot, maka di Houja adalah perahu. Hotel-hotel di sana mewah dan berkelas. Houja juga merupakan tempat shoping yang menggiurkan. Ditambah lagi...Sehingga Houja adalah tujuan baik bagi orang yang berlibur dengan kantong tebal dan memang ingin menghamburkannya. Darma juga tahu kalau wanita di depannya suka sekali melancong. Dan jika dari sudut pandang Anisa, Anisa tahu kalau lelaki di depannya juga akan berlibur ke Houja, lelaki itu adalah seorang penulis novel bergenre detektif. Beberapa novelnya pernah dibakar sendiri, karena jalan ceritanya terlalu gampang ditebak, begitu menurut pengakuan lelaki di depannya. Sedangkan beberapa yang lainnya belum terbit dan ada indikasi tidak akan pernah terbit. Meski pun begitu, ada satu novel yang pernah terbit, dan mendapat pujian sekaligus cercaan yang sama-sama riuh.

“Apakah kau bisa menebak? Bukankah seorang penulis cerita detektif setidaknya juga memiliki kemampuan sebagaimana detektif ?”
“Mungkin.”
“Apa yang menantiku di Houja? Kebahagian?”
“Tidak. Bahaya menantimu di sana.”
“Aku harap pendapatku tadi salah.”
“Sepertinya orang di sana mencurigakan.”

Anisa tersenyum manis sambil memandang orang yang dimaksudkan Darma. Anisa diam sebentar, kemudian tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Seakan-akan dia menemukan sesuatu yang berharga.

“Ajak aku jalan-jalan mengelilingi Houja besok pagi.”
Darma kaget. Darma mati kutu. Tetapi kemudian dia berkata dengan keraguan yang masih bergumpal di bawah lidah, “Ba-baik. Maukah kamu ikut aku jalan-jalan besok pagi denganku?”
“Terlalu meminta. Wanita tidak suka itu.”

Darma tambah gelagapan. Keringat dingin mengucur. Darma melihat jam tangan dan layar handphone sebentar, lalu berkata dengan nada yang terlihat ditegas-tegaskan, bahkan dia sampai membusungkan dada, hanya untuk berkata, “Besok pagi aku akan jalan-jalan mengelilingi Houja, jika kau mau, ikutlah denganku!”

Malam di Kota Houja seperti pantat panci. Seperti tempe gosong. Kereta Jaya memasuki Stasiun Kouja dan masuk di jalur tiga. Stasiun Kouja telah ramai atau barangkali memang selalu ramai. Anisa dan Darma turun dari Kereta Jaya. Dua lelaki berpakaian toxedo yang duduk di bangku paling pojok peron Stasiun Kouja—tetapi masih dalam jarak yang cukup baik untuk mengintai—sedang mengawasi mereka. Tiba-tiba saja, tanpa ancang-ancang terlebih dahulu, Anisa mencium bibir Darma, tangan Anisa bergerak di dada Darma, kemudian menyelipkan secarik surat di saku kemeja Darma. Mungkinkah itu surat janji untuk bertemu kembali, lengkap dengan waktu dan tempatnya? Atau kah surat cinta? Atau...Dan Gelagat Anisa tersebut, tentu saja diketahui dua lelaki berpakain toxedo tadi.

DI DALAM ruang yang tak membiarkan setitik cahaya lolos masuk. Ruang gelap. Ruang yang memaksa mata siapa pun hanya menangkap warna hitam. Darma terduduk pada sebuah kursi, dan kedua tangannya terborgol, dengan posisi kedua tangan tepat berada di bagian punggung—terkunci erat, sebab rantai borgol itu menyilang pada batang kursi. Sedang nasib kedua kakinya juga tak jauh beda dari tangannya—dibekap dua borgol—masing-masing untuk satu kaki dan kedua rantai borgol tersebut tertanam dalam lantai. Sehingga kemungkinan Darma melarikan diri adalah mustahil.

Para anak buah Lias dan Lias sendiri memang sudah terbiasa menginterogasi di tengah kegelapan. Mereka bisa memukul dan menyiksa dengan model siksaan seperti apa pun, tanpa mengalami kesulitan. Seolah-olah mata mereka telah berevolusi, sehingga mampu melihat dengan jelas di tengah kegelapan.

Namun Darma adalah lelaki yang berani, tenang dan tentu saja tahan banting. Meski pun rambutnya tidak gondrong, meski pun sorot matanya menampakkan pribadi lugu, seperti juga yang dipancarkan wajahnya, dia selalu bisa membawa diri bahkan dalam situasi seperti ini. Ketika Lias melontarkan kalimat ancaman, yaitu siksaan yang menyakitkan dan terdengar sangat seram, jika Darma tidak membeberkan informasi. Darma sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda gemetar sama sekali, seolah-seolah dia hanya mendengar dengung lebah.

Akan tetapi kegelapan ruangan itu memang memberikan tekanan jiwa yang lumayan bagi keteguhan hati Darma, dia tidak bisa memperkirakan darimana dan kapan siksaan itu akan datang. Dan karena itu pasti akan mengakibatkan daya kejut, sehingga efek dari siksaan menjadi berkali lipat. Benar! Benar sekali. Ketika indera penglihatan mati, maka indera pendengaran menjadi lebih peka. Sayangnya, peningkatan ketajaman indera pendengar Darma tidak berguna, setelah suara hujan mengganggu.

Ceshh. Lias menyulut sebatang rokok, nyala korek api terlihat sebentar oleh Darma. Akan tetapi hanya nyala itu yang bisa Darma pandang dengan jelas, sementara wajah Lias hanya terlihat bagian mulut saja. Korek api padam. Ruangan kembali benar-benar gelap. Lias menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asap dari mulut dan hidungnya.

Hening, hanya suara hujan di luar. Tiba-tiba Darma merasakan ada tangan yang mencengkram bahunya. Apakah itu tangan Lias atau anak buahnya, Darma tidak tahu. Tidak cuma itu, Darma juga merasakan sebuah benda yang cukup basah di telinganya, Darma pikir itu pasti mulut, tetapi mulut siapa Darma tidak tahu. Yang jelas mulut itu menempel di telinga Darma, sehingga ketika mulut itu bersuara, gerakan bibir itu dapat dirasakan oleh Darma.

“Di mana Anisa menyembunyikan uang delapan ratus juta euro itu?” Suara itu memang terdengar santai, tetapi justru karena itu lebih menekan, bukankah pembunuh atau penjahat yang sadis lebih banyak melontarkan pertanyaan dengan suara santai ketimbang dengan suara keras?

Darma diam sejuta bahasa. Mungkin dia bersikukuh menyembunyikan informasi atau mungkin dia memang tidak tahu apa-apa. Dan mungkin juga diam adalah hemat Darma dalam menghadapi situasi ini. Mungkin Darma pikir, diam dan menjawab sama saja—Jika dia diam, maka dia tentu akan dipaksa menjawab. Jika dia menjawab, maka dia pasti akan dipaksa sampai memberikan jawaban yang memuaskan. Apalagi jika jawabannya, “Aku tidak tahu.” Maka dia akan mendapat balasan, “Ah. Yang benar? Ayo ngaku kamu. Anjing kamu, ya?” dan jika bernasib sial, Darma akan mendapat satu pukulan di wajah. Hal itu juga terjadi, walau pun jawabannya sudah memuaskan. Dan mungkin menurut Darma, meski pun tidak jauh lebih baik, yang harus dilakukan adalah berusaha bertahan dan hidup terhadap siksaan, sambil menunggu pertolongan. Pertolongan dari siapa saja. Teman kerja, teman nongkrong, keluarga atau Anisa juga boleh. Yang penting Darma bisa keluar dari teror Lias.

Darma merasakan cengkeraman tangan di bahunya semakin keras, sampai memberi bekas di bahunya. Kemudian sebuah benda lancip dan tajam menyentuh bibirnya, tidak berhenti di situ benda lancip tersebut (sepertinya pisau) diberi tekanan yang cukup—tetapi tidak mengakibatkan luka di bibir Darma. Darma berusaha tetap tenang, toh itu cuma bibir, katanya dalam hati. Benda lancip dan tajam tersebut bergerak mengitari bibir Darma dengan mempertahankan tekanan.

“Memberi tahu tempat uang tersebut, aku pikir lebih baik untukmu,” kata Lias.
Darma tetap diam. Hujan semakin deras. Cengkeraman tangan di bahu Darma makin keras. Benda lancip dan tajam yang tadi menekan bibir Darma diberi tambahan tekanan dan tergoreslah bibir Darma. Dengan perlahan tekanan benda lancip dan tajam tersebut berkurang. Ketika tekanan benda lancip dan tajam di bibir Darma itu benar-benar hilang, tiba-tiba kepalan tangan yang keras meninju mulut Darma sampai mengakibatkan bibir Darma tidak hanya tergores, tetapi sobek. Gusi Darma berdarah.
Darma tetap diam. Kemudian, sekonyong-konyong Darma kembali mendapatkan tinju lagi, kali ini hidungnya yang malang, tulang hidung Darma patah. Darah mengucur dari hidung Darma, seperti arus sungai di tengah hujan, serta bentuk hidung Darma menjadi lebih pesek dan bengkok.

Telinga Darma berdenging. Darma memejamkan mata cukup lama. Dan sampai sekarang belum juga membuka mata. Bukan! Bukan. Jawabannya bukan karena rasa sakit yang melanda, apalagi rasa takut, tetapi kegelapan ruangan itu. Darma membuka atau pun menutup mata, bukankah hanya kegelapan yang bisa dia tangkap?
Baru saja Lias ingin mengatakan kepada Darma, apa siksaan yang akan Darma terima selanjutnya—Sengatan listrik—Tiba-tiba seorang anak buahnya, yang sepertinya sudah mendapat informasi baru itu angkat mulut, “Maaf, Bos.” Darma mendengarkan suara itu di tengah kegelapan yang sangat, dengan telinga yang masih berdenging dan mata memejam. Lias menaruh kembali kabel, yang ujungnya sudah dikuliti bahan isolatornya (kulit).

“Ya.”
“Maaf, Bos. Ternyata surat itu cuma tipuan.”
“Maksudmu.”
“Iya, Bos. Maaf, kami tertipu oleh Anisa. Dia sengaja membuat kita curiga pada surat itu, padahal surat itu, ya, seperti yang aku bilang tadi, cuma tipuan. Tidak ada Anisa di Cafe Jian, atau pun orang yang mirip Anisa di sana. Maaf, Bos.”
Lias blingsatan. Sudah berkali-kali dia tidak bisa menangkap Anisa, bekas anak buahnya itu, terhitung lima tahun lebih. Dulu Anisa adalah anak buah kesayangan Lias, sebab dia cantik, cerdas dan licik. Sampai akhirnya Anisa berkhianat dan membawa kabur uang sejumlah delapan ratus juta euro. Apa alasan Anisa berbuat demikian, Lias tidak tahu.
Lias benar-benar marah, sudah habis kesabarannya. Bukan hanya tidak bisa menangkap Anisa lagi, dia juga tidak bisa mengambil kembali uang itu dari tangan Anisa. Lias mengambil pistol dari pinggangnya. Pistol meledak dalam kegelapan. Dor. Selongsong peluru tertanam dalam kepala seseorang.

SEMENTARA itu, di sebuah hotel paling mewah di Houja, lebih tepatnya di sebuah kamar hotel paling mewah di Houja, Anisa baru saja bangun tidur. Setelah menggeliat sebentar, dia turun dari kasur, kemudian berjalan malas ke arah kamar mandi. Ketika selesai mandi, dengan handuk yang membungkus tubuhnya, dia berjalan ke arah dapur, di atas meja ada beberapa helai roti. Kemudian dia melahap dua helai roti.
Anisa bisa santai sebentar sekarang. Anisa sudah mendapatkan wajah dan suara baru sejak tadi malam, tidak hanya itu, dia juga sudah pindah kewarganegaraan, dan memakai nama Clara.

Sebagaimana biasa, ini kali Anisa membunuh bagai kepak seekor kupu-kupu yang menyebabkan badai di belahan dunia lain, demikianlah dia berhasil membunuh Darma—seorang agen polisi yang menyamar karena mengemban misi menangkapnya—lewat tangan Lias. Hanya dengan secarik surat yang sengaja dia selipkan di saku Darma (atau Budi kalau ingin memanggil nama aslinya) di peron Stasiun Kouja. Dia juga sengaja menyelipkan surat itu dalam jangkauan jarak pandang dua anak buah Lias yang terus mengintainya, sehingga mereka tahu surat itu diselipkan dan curiga dengan isi surat itu. Dia menyelipkan surat itu ke saku Darma sambil mencium bibir Darma. Ada pun isi surat itu adalah: Ambil segera uang delapan ratus juta euro itu, masih ingat nomer brankas itu, kan? Besok pagi temuilah aku di Cafe Jian di pinggiran Kota Houja. Kemudian kita jalan-jalan mengelilingi Houja, dengan uang sebanyak itu kita bisa bersenang-senang sepuas hati.
Ssambil menyeruput secangkir kopi dan membaca koran, entah koran apa, pagi itu Anisa (mungkin lebih baik memanggilnya Clara) berpikir dengan santai bagaimana langkah yang harus dia ambil selanjutnya. Dia mempunyai peluang menyingkirkan Lias, mengingat Lias telah membunuh seorang agen polisi, bila dilihat secara nyata, bukan di balik yang nyata.(*)

Surabaya, Maret 2011

No comments:

Post a Comment